Suara.com - Penunjukan Letnan Jenderal TNI (Purn) Djaka Budi Utama sebagai Direktur Jenderal Bea dan Cukai oleh Presiden Prabowo Subianto membawa harapan baru terhadap penguatan penerimaan negara, khususnya dari sektor kepabeanan dan cukai. Namun belum genap sebulan menjabat, Djaka langsung dihadapkan pada salah satu persoalan krusial, yaitu permintaan moratorium kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT).
Permintaan ini datang dari pelaku industri hasil tembakau (IHT), termasuk petani dan pengamat anggaran, yang menilai kebijakan cukai selama ini telah menekan stabilitas sektor padat karya tersebut. Pasalnya, pada tahun 2024 lalu, Cukai Hasil Tembakau tercatat menyumbang Rp216,9 triliun ke kas negara, menjadikannya salah satu penyumbang utama penerimaan negara dari sektor cukai.
Dengan mandat strategis sebagai Dirjen Bea Cukai, Letjen Djaka menyatakan komitmennya untuk mengawal target penerimaan negara yang telah ditetapkan pemerintah. Namun tantangan muncul ketika sebagian kalangan menilai kebijakan kenaikan tarif CHT justru kontraproduktif di tengah melemahnya daya beli masyarakat dan masih belum pulihnya kondisi ekonomi nasional.
Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) NTB, Sahminudin, menyampaikan bahwa para petani menaruh harapan besar terhadap kebijakan dari pimpinan baru di Ditjen Bea dan Cukai. Ia secara gamblang mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan moratorium kenaikan tarif cukai selama tiga tahun ke depan.

"Penting sekali moratorium kenaikan CHT, karena untuk menstabilkan daya beli masyarakat itu," ucapnya.
Sahminudin menilai, jika kebijakan kenaikan CHT terus dilanjutkan, maka dampak yang ditimbulkan akan berantai. Mulai dari penurunan serapan tembakau dari petani, efisiensi produksi pabrik rokok, hingga potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor buruh lintas industri.
"Otomatis mengurangi kebutuhan tembakaunya, jadi nanti langsung petani terdampak juga itu. Apalagi sekarang ini kan pemerintah kita bilang belum mampu menjaga rokok ilegal," tegasnya.
Ia juga menyoroti lemahnya pengawasan terhadap peredaran rokok ilegal, yang dinilainya memperburuk nasib petani. Menurutnya, sebelum menaikkan tarif cukai, pemerintah seharusnya memperkuat pengawasan dan penegakan hukum agar persaingan industri tembakau menjadi lebih adil dan sehat.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center (IBC), Elizabeth Kusrini, menyampaikan pandangan makro mengenai dampak kenaikan tarif cukai secara agresif terhadap ekosistem IHT. Menurutnya, kebijakan moratorium dapat menjadi ruang jeda yang strategis untuk menata ulang tata kelola industri hasil tembakau agar lebih berkelanjutan.
Baca Juga: Sri Mulyani Dapat Tekanan Banyak Pihak Soal Cukai Rokok
"Ketika cukai dinaikkan secara agresif, industri cenderung mengurangi pembelian bahan baku untuk efisiensi, sehingga pendapatan petani rentan terdampak. Tanpa reformasi menyeluruh dalam tata niaga tembakau, buruh tetap rentan terhadap pemutusan kerja sebagai dampak tekanan efisiensi dari perusahaan," jelas Elizabeth.
Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa kebijakan cukai yang fluktuatif telah memicu instabilitas dalam dunia usaha. Salah satu contoh ekstrem adalah kenaikan CHT sebesar 23 persen pada tahun 2020 yang menurutnya berujung pada pemangkasan tenaga kerja dan relokasi produksi oleh perusahaan-perusahaan besar.
"Risiko terbesar adalah pada sektor padat karya, yakni buruh Sigaret Kretek Tangan (SKT) dan petani tembakau, yang posisinya rentan dan kurang terlindungi dari dinamika pasar. Jika pabrik gulung tikar atau menurunkan kapasitas produksi karena ketidakpastian tarif, kelompok ini yang pertama terdampak," imbuh Elizabeth.
Presiden Prabowo Subianto resmi melakukan perombakan di jajaran eselon I Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Dua posisi strategis, Direktur Jenderal Pajak dan Direktur Jenderal Bea Cukai, kini akan dipimpin oleh wajah-wajah baru yang ditunjuk langsung oleh Prabowo.
Bimo Wijayanto dipercaya menduduki kursi Direktur Jenderal Pajak, menggantikan Suryo Utomo. Sementara itu, Letnan Jenderal Djaka Budi Utama ditunjuk sebagai Direktur Jenderal Bea Cukai, menggantikan Askolani.
Kedua sosok ini sebelumnya telah dipanggil secara khusus oleh Prabowo ke Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Selasa (20/5/2025).
Usai bertemu Prabowo, Bimo Wijayanto mengungkapkan komitmen Presiden terpilih untuk mereformasi sistem perpajakan di Indonesia. "Beliau tegaskan komitmen beliau untuk memperbaiki sistem perpajakan Indonesia supaya lebih akuntabel, berintegritas, lebih independen untuk mengamankan program pelaksanaan beliau khususnya dari sisi penerimaan negara," kata Bimo, menandakan arah baru kebijakan fiskal di bawah kepemimpinan Prabowo.
Bimo juga mengonfirmasi penunjukannya, "Saya diberi mandat nanti sesuai arahan Menteri Keuangan akan bergabung dengan Kemenkeu, begitu juga dengan Letjen Djaka."