Suara.com - Target ambisius pertumbuhan ekonomi 8 persen yang digaungkan Presiden Prabowo Subianto diyakini tidak akan mudah tercapai.
Di tengah tekanan ekonomi global yang kian tak menentu, jalan menuju angka fantastis itu dipenuhi kerikil tajam yang memerlukan kerja keras dan strategi matang.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Esther Sri Astuti, menegaskan bahwa banyak "pekerjaan rumah" (PR) yang harus dibereskan pemerintah agar ambisi pertumbuhan tinggi tersebut tidak sekadar menjadi janji politik belaka.
"Untuk menjawab tantangan pertumbuhan ekonomi 8 persen itu maka harus banyak yang harus dibenahi, apalagi kalau kita lihat gonjang-ganjing akibat perang dagang 2.0. Itu salah satunya adalah PHK, kemudian neraca perdagangan yang tertekan, dan satu lagi tentunya tekanan fiskal," kata Esther dalam Kajian Tengah Tahun (KTT) INDEF 2025 via Zoom, Rabu (2/7/2025).
Esther menyebutkan bahwa Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya bahkan sudah memberi sinyal koreksi terhadap target pertumbuhan ekonomi tahun ini, dari 5,2 persen menjadi hanya 5 persen. Namun, menurutnya, kondisi riil di lapangan sangat mungkin lebih rendah dari itu.
"Kita lihat bahwa adanya defisit fiskal dari 2,5 persen menjadi 2,7 persen akan berdampak pada porsi pembayaran utang terhadap PDB yang naik menjadi 40 persen," ujarnya. Peningkatan defisit fiskal ini menjadi perhatian serius, karena dapat membebani anggaran negara dan mengurangi ruang gerak pemerintah untuk investasi produktif.
Lebih jauh, Esther mengingatkan bahwa tekanan fiskal tidak hanya berdampak pada anggaran nasional, tetapi juga bisa menimbulkan efek berantai ke berbagai sektor. Pengurangan belanja kementerian/lembaga (KL) dan transfer ke daerah menjadi konsekuensi yang tak terhindarkan, yang akan terasa hingga ke tingkat lokal.
"Kalau kita cermati lagi dalam data tersebut ternyata belanja KL dan transfer ke daerah pun juga akan berkurang. Ini tidak hanya tantangan bagi nasional tapi juga daerah, dan punya dampak yang luar biasa," tuturnya, menyoroti implikasi yang lebih luas dari tekanan fiskal.
Selain tantangan ekonomi makro, Esther juga menyoroti potensi memburuknya kepercayaan publik. Ia khawatir jika pemerintah terus mengeluarkan kebijakan yang tidak disertakan dengan data yang akurat dan terkesan hanya mengakomodasi kepentingan tertentu, hal itu bisa merusak optimisme masyarakat.
Baca Juga: Bisik-Bisik Prabowo dan Dasco Sebelum Terbang ke Arab Saudi: Apa yang Dibicarakan?
"Maka saya takut ya, ini pertumbuhan ekonomi 8 persen tadi hanyalah mimpi belaka," pungkasnya, mengakhiri pemaparannya dengan nada skeptis namun realistis.