Suara.com - Kejahatan love scamming yang terjadi di Singapura terus melonjak. Apalagi, pemerintah telah melihat masalah penipuan ini semakin memburuk dengan kerugian yang cukup besar.
Terlebih kerugian nasabah melonjak ke rekor 860 juta dolar atau sekitar Rp13 triliun pada tahun 2024.
Kejahatan love scamming ini membuat perbankan di Singapura menutup banyak rekening korban penipuan. Hal ini dilakukan agar bisa menyelamatkan uang yang terkuras akibat kejahatan scamming tersebut.
Dilansir BBC, jumlah penipuan yang dilaporkan di Singapura telah meningkat dari sekitar 15.600 kasus pada tahun 2020 menjadi lebih dari 50.000 kasus pada tahun 2024.
Penipuan umum di Singapura meliputi penipuan pekerjaan dan investasi, serta penipuan e-commerce di mana pengguna ditipu untuk membayar barang yang tidak pernah mereka terima.
Banyak juga yang semakin menjadi korban penipuan cinta internet, di mana penipu menghabiskan waktu berbulan-bulan membangun hubungan daring sebelum menipu korban agar mengirimkan uang.
Dalam menangani penipuan ini, Singapura membuat Undang-undang tindakan antipenipuan terbaru yang diluncurkan otoritas negara tersebut. Sejak tahun 2023, pengguna bank dapat mengunci sebagian uang di rekening mereka sehingga tidak dapat ditransfer secara digital.
Sebagian besar bank juga memiliki "tombol pemutus" darurat yang memungkinkan nasabah membekukan rekening bank mereka segera jika mereka menduga rekening tersebut telah dibobol.
Tidak hanya itu, polisi di Singapura kini dapat mengambil alih kendali rekening bank seseorang dan memblokir transfer uang jika mereka menduga orang tersebut ditipu, berdasarkan undang-undang baru yang mulai berlaku pada hari Selasa.
Baca Juga: Cegah Nasabah Gagal Bayar, SLIK OJK Bakal Digunakan Pinjol
Langkah ini ditujukan untuk mengatasi masalah umum yang dihadapi oleh polisi di mana korban sering menolak untuk percaya bahwa mereka ditipu meskipun telah diperingatkan, kata pihak berwenang.
Undang-undang tersebut disahkan awal tahun ini oleh anggota parlemen, meskipun beberapa anggota parlemen menggambarkan tindakan tersebut sebagai tindakan yang mengganggu.
Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan dari Penipuan yang baru, polisi dapat memerintahkan bank untuk memblokir calon korban dari melakukan transaksi jika mereka menduga orang tersebut ditipu.
Polisi juga dapat memblokir penggunaan ATM dan layanan kredit oleh calon korban. Keputusan tersebut dapat diambil oleh petugas polisi bahkan jika calon korban tidak percaya peringatan bahwa mereka ditipu.
Pemilik rekening bank akan tetap memiliki akses ke dananya untuk alasan yang sah, seperti untuk membayar pengeluaran dan tagihan harian mereka, tetapi hanya dapat menggunakan uang mereka atas kebijakan polisi, menurut Kementerian Dalam Negeri (MHA) Singapura.
MHA mengatakan bahwa rekening bank calon korban dapat dikontrol oleh polisi hingga 30 hari sekaligus, dengan opsi perpanjangan maksimal lima kali jika diperlukan waktu lebih lama.
Pengkritik undang-undang tersebut telah menyuarakan kekhawatiran atas akuntabilitas dan kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan. Di Parlemen pada bulan Januari, beberapa anggota parlemen mengusulkan agar warga negara dapat memilih untuk tidak mengikuti undang-undang tersebut, atau memberi orang pilihan untuk menunjuk orang lain untuk membekukan transaksi mereka alih-alih pihak berwenang.
Namun, para pendukung mengatakan bahwa undang-undang tersebut diperlukan untuk membendung kerugian besar yang dialami para korban dan untuk melindungi mereka.
MHA mengatakan keputusan tersebut akan didasarkan pada fakta-fakta yang diberikan oleh individu dan anggota keluarga.
"Perintah pembatasan hanya akan dikeluarkan sebagai pilihan terakhir, setelah opsi lain untuk meyakinkan individu tersebut telah habis," katanya dalam sebuah pernyataan.
Sebagai informasi, pelaku love scamming memanfaatkan kedekatan emosional korbannya dengan menggunakan identitas palsu berpura-pura mencari pasangan dan menjanjikan untuk menjalin hubungan romansa yang serius dengan korban agar mendapatkan kepercayaan dan kasih sayang korban.
Modus love scamming umumnya ada dua, yakni mencuri uang korban dan memaksa korban mengirimkan foto tidak senonoh kepada pelaku, dan foto tersebut dijadikan alat untuk memeras si korban. Setelah berhasil, pelaku akan menghilang atau sulit dihubungi.