-
Dony Oskaria dikritik karena rangkap jabatan di BP BUMN dan Danantara.
-
Rangkap jabatan dinilai langgar tata kelola dan timbulkan konflik kepentingan.
-
Pengamat desak Dony mundur demi menjaga integritas dan kepercayaan publik
Suara.com - Pengamat BUMN sekaligus Direktur NEXT Indonesia Center, Herry Gunawan mengkritisi posisi Dony Oskaria yang rangkap jabatan.
Dony yang sebelumnya menjabat sebagai Chief Operating Officer (COO) Danantara, kini juga menduduki posisi sebagai Kepala Badan Pengaturan Badan Usaha Milik Negara atau BP BUMN.
Dia menilai, pembelaaan CEO Badan BPI Danantara, Rosan Roeslani yang menyebut kedudukan Dony di dua posisi strategis itu untuk mempermudah koordinasi, sesat pikir.
"Terkait dengan posisi Doni Oskaria yang saat ini sebagai COO Danantara sekaligus CEO Danantara Asset Management (DAM) yang dianggap untuk memudahkan koordinasi adalah sesat pikir," kata Herry saat dihubungi Suara.com pada Selasa (14/10/2025).
Dia menjelaskan bahwa BP BUMN memiliki peran sebagai regulator, sedangkan BP Danantara berperan sebagai operator serta pelaksana regulasi.
"Rangkap di wilayah itu merupakan pelanggaran terhadap tata kelola yang baik, karena menimbulkan benturan kepentingan," ujar Herry.

"Dia yang buat aturan (Kepala BP BUMN), dia yang awasi (COO Danantara), dia juga yang melaksanakan (CEO DAM). Menurut saya ini kan konyol kalau dirangkap satu orang yang sama," sambungnya.
Untuk itu, Herry mendesak agar Donny segera mundur dari jabatannya di Danantara.
Alasannya, Kepala BP BUMN ex-officio sebagai Anggota Dewan Pengawas Danantara, menggantikan Menteri BUMN, yang sebelumnya ada di UU No. 1/2025 tentang BUMN.
Baca Juga: Bahlil Bertemu Purbaya, Tagih Pembayaran Kompensasi Listrik dan BBM
"Selain itu, posisi Doni Oskaria sebagai Kepala BP BUMN yang merupakan lembaga pemerintah non kementerian, setara dengan menteri yang dilarang rangkap jabatan sesuai dengan UU Kementerian Negara Tahun 2008," tegasnya.
Menurutnya, pelanggaran terhadap tata kelola yang dimulai dari hulu, dalam hal ini pengaturnya atau regulatornya, membuat posisi BUMN akan sulit dipercaya publik, khususnya investor.
"Bagi para investor yang kredibel, tata kelola adalah mahkota yang mesti dijunjung. Selain itu, pelanggaran tersebut juga menjadi sinyal bahwa BUMN tidak digarap dengan cara yang baik, sehingga melemahkan fondasi kinerjanya yang berkesinambungan dalam jangka panjang," jelasnya.
"Ini sudah terbukti dengan pengumuman Danantara sendiri bahwa 52 persen BUMN kita rugi, apalagi banyak yang terjerat kasus korupsi. Semua ini diawali dengan penerapan prinsip tata kelola yang buruk," kata Herry menambahkan.