Untuk mencapainya, Paris FC pun melakukan langkah instan dengan melakukan merger. Dan klub pinggiran kota bernama Stade Saint Germain pun menjadi ‘korbannya’.
Stade Saint Germain sendiri merupakan klub tua di Prancis di mana klub tersebut berdiri pada 1904. Namun karena minim prestasi, Paris FC memandang klub ini bisa menjadi pijakan tepat untuk membesarkan nama Paris.
Alhasil, pada 1970 kedua tim ini bergabung dan menjadi Paris Saint Germain atau PSG, seperti klub yang dikenal pecinta sepak bola saat ini.
Namun, gabungan dua tim ini tak bertahan lama. Pada 1972, Paris FC dan Stade Saint Germain berpisah karena adanya protes bahwa Stade Germain tak begitu melambangkan kota Paris.
Setelah berpisah, kedua tim pun mengambil warisan keduanya di mana Paris FC berhak bermain di Ligue 1 dan memakai Stadion Parc des Princes, sedangkan Stade Saint Germain mendapat hak nama PSG dan harus berjuang dari kasta ketiga.
Roda nasib pun berputar pada 1974. Pada tahun tersebut Paris FC terdegradasi, sedangkan Stade Saint Germain atau PSG malah promosi ke Ligue 1.
Paris FC sempat kembali ke Ligue 1 empat tahun kemudian. Namun, dua musim berselang kembali ke kasta kedua. PSG sendiri terbilang konsisten di kasta teratas.
Di era saat ini, kedua tim pun mulai berbenah untuk menjadi yang terbaik di Paris. Bahkan, keduanya sama-sama dimiliki oleh dua pihak asal Timur Tengah.
Jika PSG identik dengan Qatar karena sosok Nasser Al-Khelaifi, maka Paris FC saat ini identik dengan Bahrain berkat inisiasi Pangeran Nasser bin Hamed Al-Khalifa.
Akuisisi kedua tim dari pihak Timur Tengah ini bak menjadi duel baru di Paris. Diyakini, Paris FC bisa kembali ke Ligue 1 dan merebut kembali haknya akan Stadion Parc des Princes kelak.