Semua cerita itu menegaskan bahwa seperti disinggung Jokowi dan Infantino, sepak bola membawa kebersamaan, selain juga kegembiraan dan harapan.
Kegembiraan yang seharusnya disebarkan dari prakarsa-prakarsa global membangun kebersamaan dan saling memahami seperti G20.
G20 sendiri sebagian merupakan koreksi dari elitisme G7 yang tak menyertakan bagian-bagian dunia yang lain padahal perannya sama besar dengan G7 dalam memajukan dunia.
Adalah ironi jika G20 yang berusaha memajukan upaya saling memahami, walau titik beratnya terletak pada perdagangan dan hubungan ekonomi, malah gagal menularkan semangat itu kepada upaya membangun dialog dalam menyelesaikan masalah di luar spektrum ekonomi dan perdagangan, termasuk sengketa geopolitik dan teritorial.
Seharusnya jika semua sepakat menyelesaikan masalah dalam meja perundingan, maka seharusnya pula kesepakatan itu menjadi platform untuk menyelesaikan sengketa-sengketa lain, karena tak mungkin ekonomi dan perdagangan baik-baik saja jika perang masih saja menjadi pilihan yang diutamakan.
Infantino hanya meminta gencatan sementara selama Piala Dunia 2022, mulai dari 20 November nanti sampai tanggal 18 bulan depan.
Namun kesementaraan itu memuat harapan untuk hadirnya momen yang membuat semua pihak yang bersengketa merenungkan indahnya perdamaian, ketimbang menaksir apa yang bisa didapat dari perang.
Kegembiraan yang bakal terpancar dari arena-arena pertandingan Piala Dunia di Qatar nanti bisa memicu harapan dan menguatkan asa untuk bersahabat.
Pastinya Ukraina dan Rusia merasakan energi positif seperti itu karena mereka adalah dua negeri yang menggilai sepak bola dan olahraga.
Baca Juga: Siap Ambil Risiko Demi Fans, Son Heung-min Bakal Kenakan Topeng Zorro di Piala Dunia 2022
Rusia bahkan menjadi tuan rumah Piala Dunia 2018, sedangkan Ukraina sedang melamar menjadi tuan rumah Piala Dunia 2030.