Suara.com - Kapten tim PSM Makassar, Yuran Fernandes, akhirnya angkat bicara setelah Komisi Disiplin (Komdis) PSSI memutuskan untuk merevisi sanksi berat yang sebelumnya dijatuhkan kepadanya.
Hukuman larangan beraktivitas di dunia sepak bola Indonesia yang semula berdurasi 12 bulan, kini dikurangi menjadi hanya tiga bulan setelah melalui proses banding.
Bagi Yuran, revisi ini merupakan angin segar yang sangat ia syukuri, mengingat potensi absennya selama satu musim penuh akan sangat mempengaruhi karier dan kontribusinya di lapangan.
"Saya merasa lebih baik dari pada sebelumnya," ujar Yuran, dikutip dari akun Instagram Federasi Internasional Asosiasi Pesepak Bola Profesional (FIFPro) di Jakarta, Jumat.
Sebelumnya, Komisi Disiplin (Komdis) PSSI memberikan sanksi larangan beraktivitas di sepak bola nasional kepada Yuran Fernandez selama satu tahun setelah bek itu melontarkan komentar yang dianggap menyindir kualitas sepak bola di Indonesia melalui media sosial.
Dia kemudian menghapus unggahan tersebut dan meminta maaf kepada publik atas pernyataannya. Akan tetapi, Komdis PSSI tetap mengganjar Fernandes hukuman larangan beraktivitas di sepak bola Indonesia selama 12 bulan dan juga denda Rp25 juta.
Hukuman tersebut banyak mendapat kritik dari para pengamat, pemangku kepentingan dan penggemar sepak bola. Namun, setelah PSM Makassar mengajukan banding, Komdis PSSI menyetujui untuk merevisi hukuman tersebut menjadi hanya tiga bulan.
Hukuman itu akan berakhir pada Agustus 2025 atau saat Liga 1 musim 2025-2026 dimulai.
"Banyak orang di Indonesia merasa larangan 12 bulan untuk berkomentar di sebuah laga tidak adil dan tidak masuk akal," tutur Yuran.
Baca Juga: Selamat Tinggal Yuran Fernandes Tinggalkan Indonesia Setelah 'Diusir' Erick Thohir
Yuran sendiri mendapatkan dukungan dari Asosiasi Pesepak Bola Profesional Indonesia (APPI) dan FIFPro dalam upayanya melakukan banding terhadap hukuman 12 bulan tersebut.
Oleh sebab itu, dia mengucapkan terima kasih kepada para pemain Liga 1 Indonesia yang telah memberikan dukungan kepadanya.
"Banyak pemain lokal dan asing di Indonesia mengirim pesan 'kami bersamamu'. Jika Anda membutuhkan bantuan, mereka ada di sana. Pemain-pemain di Indonesia akan melakukan sesuatu di Instagram untuk menunjukkan bahwa hukuman 12 bulan tidak adil," tutur Yuran.
Presiden APPI Andritany Ardhiyasa menyatakan bahwa kasus Yuran memberikan pelajaran berharga. Para pemain seharusnya tidak merasa takut untuk mengungkapkan opini mereka di publik.
"Secara teknis kami tidak bisa mengajukan banding ke CAS; hanya sanksi di atas tiga bulan yang bisa diajukan banding. Kami harus menghormati keputusan Komite Banding. Kami lebih suka tidak ada sanksi sama sekali karena argumen kami adalah Yuran mengungkapkan kekecewaannya, dan bila ada yang salah dengan itu, maka dia sudah mengklarifikasi dan meminta maaf sebelumnya," kata Andritany.
Dengan keputusan revisi ini, Yuran Fernandes diharapkan dapat kembali ke lapangan dengan semangat baru.
Kasus ini membuka ruang diskusi lebih luas mengenai perlindungan hak-hak atlet di Indonesia serta pentingnya komunikasi dua arah antara pemain dan pemangku kepentingan sepak bola nasional.
Jadikan Pembelajaran Bersama
Kasus yang menimpa kapten PSM Makassar, Yuran Fernandes, menjadi pelajaran penting bagi banyak pihak dalam dunia sepak bola Indonesia, baik bagi pemain, federasi, maupun publik.
Bagi pemain, kasus ini menunjukkan bahwa menyuarakan opini di ruang publik, khususnya di media sosial, harus dilakukan dengan penuh pertimbangan.
Sebagai figur publik, setiap pernyataan memiliki dampak, baik secara personal maupun terhadap klub dan kompetisi secara keseluruhan.
Meski kritik merupakan bagian dari demokrasi dan kebebasan berekspresi, tetap perlu disampaikan dengan cara yang bijak, bertanggung jawab, dan tidak merugikan pihak lain.
Namun, kasus ini juga mengajarkan bahwa pemain berhak menyampaikan kekecewaan atas hal-hal yang dirasakannya tidak adil, selama dilakukan dengan itikad baik.
Bagi federasi, kejadian ini menjadi cermin untuk meninjau ulang bagaimana kebijakan disipliner diterapkan.
Reaksi keras dari publik dan pemangku kepentingan terhadap sanksi awal yang dijatuhkan menunjukkan bahwa transparansi, proporsionalitas, dan komunikasi menjadi kunci dalam penegakan aturan.
Sanksi yang dianggap tidak adil justru dapat menurunkan kepercayaan terhadap institusi dan menciptakan jarak antara regulator dan pelaku sepak bola itu sendiri.
Pada akhirnya, peristiwa ini bisa menjadi momentum untuk memperkuat sistem komunikasi dua arah di dunia sepak bola Indonesia.
Ke depan, perlu ada ruang dialog yang lebih terbuka antara pemain, federasi, dan masyarakat agar kritik bisa diterima sebagai masukan konstruktif, bukan sebagai ancaman.
Sepak bola yang sehat tumbuh dari ruang yang adil, terbuka, dan menghargai hak setiap individu di dalamnya.
(Antara)