Suara.com - Timnas Indonesia babak belur dan hancur lebur seolah dihantam tsunami besar saat berlaga di kandang Jepang.
Hasil memalukan yang diterima Patrick Kluivert bahkan bisa dibilang lebih buruk dibanding pencapaian Timnas Indonesia di bawah Shin Tae-yong ketika menghadapi tim yang sama.
Datang ke Suita City Football Stadium pada Selasa (10/6/2025) dengan modal kepercayaan diri tinggi usai menaklukkan China, skuad Garuda justru tak berdaya di hadapan pasukan Samurai Biru.
Jepang tak memberi ampun dan melibas Indonesia dengan skor mencolok 6-0.
Kekalahan telak ini mempertegas jurang kualitas yang masih terbentang lebar antara kedua negara, meskipun hasil tersebut tak mengubah nasib Indonesia yang sudah dipastikan melaju ke ronde keempat Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia.
Namun, kekalahan ini tetap menyisakan catatan statistik kelam bagi Timnas Indonesia, yang kini diasuh oleh pelatih anyar, Patrick Kluivert.
Jika merujuk pada pertemuan sebelumnya di Stadion Gelora Bung Karno pada November tahun lalu, Timnas Indonesia di bawah Shin Tae-yong mampu memberikan perlawanan berarti meskipun juga harus menelan kekalahan 0-4.
Saat itu, Jepang menurunkan banyak pemain inti mereka seperti Takehiro Tomiyasu, Kaoru Mitoma, dan Wataru Endo, tetapi Indonesia tetap bisa membalas lewat permainan intens di awal laga.
Timnas Indonesia bahkan mencatatkan penguasaan bola sebesar 34% dan menciptakan delapan tembakan, tiga di antaranya mengarah tepat ke gawang Jepang. Dua tembakan termasuk dalam kategori peluang emas.
Baca Juga: 12.000 Km dari Kampung Halaman, Ole Romeny Hidup di Dua Dunia
Kehilangan konsentrasi pada menit ke-35 akibat gol bunuh diri Justin Hubner memang memukul semangat tim, namun permainan saat itu dinilai cukup progresif.
Sebaliknya, pada laga terbaru di Suita, skuad Garuda benar-benar lumpuh.
Di bawah komando Patrick Kluivert, Timnas Indonesia seperti kehilangan arah dan tak sanggup mengimbangi agresivitas Jepang.

Ironisnya, kali ini Jepang menurunkan mayoritas pemain pelapis, dengan hanya Wataru Endo, Takefusa Kubo, dan Daichi Kamada sebagai andalan yang bermain di Eropa. Namun Indonesia justru tampil lebih buruk.
Selama 90 menit, Jepang sepenuhnya menguasai permainan. Mereka melepaskan 21 tembakan — 11 di antaranya tepat sasaran.
FIFA mencatat Jepang menguasai bola hingga 71%, sedangkan Indonesia hanya 29%.
Statistik makin miris saat diketahui Timnas Indonesia sama sekali tidak mampu menciptakan tembakan, baik ke arah gawang maupun tidak.
Ini menjadi alarm keras, mengingat bahkan satu peluang pun tak bisa diciptakan.
Dari sisi operan, Jepang unggul telak dengan 634 umpan, jauh meninggalkan Indonesia yang hanya mampu mencatat 226 operan sepanjang laga.
Dari situasi bola mati, Jepang juga dominan lewat delapan tendangan sudut. Sementara Indonesia kembali nihil.
Hasil ini menjadi kekalahan terbesar Timnas Indonesia dalam fase grup, dan sangat mencolok karena dibarengi statistik yang sangat timpang.
Tentu faktor bermain tandang dan atmosfer stadion bisa menjadi variabel yang memengaruhi performa.
Namun, perbedaan cara bermain serta respons taktis yang ditunjukkan antara era STY dan Kluivert sangat jelas terlihat.
Di tangan Shin Tae-yong, Timnas masih bisa menekan dan menciptakan ancaman.
Sementara di era Kluivert, skuad Merah Putih tampak kaku dan seperti kehilangan semangat bertarung.
Situasi ini semakin memperkuat urgensi bagi Patrick Kluivert dan staf pelatih untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh.
Apalagi, di ronde keempat nanti, Timnas Indonesia akan berhadapan dengan tim-tim yang lebih tangguh dan konsisten, di mana kesalahan sekecil apa pun bisa dibayar mahal.
Dengan sisa waktu yang ada, Kluivert dituntut segera menemukan formula yang tepat agar Indonesia tidak kembali menjadi bulan-bulanan di babak berikutnya.
Kontributor: Aditia Rizki