Suara.com - Kegagalan Timnas Indonesia melaju ke Piala Dunia 2026 meninggalkan luka yang mendalam bagi para suporter.
Namun, kekecewaan tersebut terasa semakin pahit setelah serangkaian sikap yang ditunjukkan oleh sang pelatih, Patrick Kluivert pasca kegagalan yang oleh banyak pihak dinilai sebagai tiga dosa besar.
1. Mengabaikan Suporter di Stadion
Dosa pertama yang paling disorot adalah sikap Kluivert dan seluruh jajaran asistennya yang enggan menyapa para suporter yang telah memberikan dukungan langsung di Stadion King Abdullah, Jeddah. Momen ini menjadi viral di media sosial.
Di saat para pemain dan staf lokal berjalan ke arah tribun untuk mengucapkan terima kasih dan permohonan maaf, Kluivert dan para asistennya justru terlihat tetap di area bangku cadangan.
Sikap yang terkesan dingin ini dinilai tidak menunjukkan rasa empati terhadap para suporter yang telah berjuang bersama tim.
2. Pulang Langsung ke Belanda
Seolah tak cukup dengan sikapnya di stadion, Kluivert dan seluruh staf pelatih asal Belanda dilaporkan tidak ikut dalam rombongan tim yang kembali ke Tanah Air.
Manajer Timnas Indonesia, Sumardji mengonfirmasi bahwa mereka semua langsung terbang pulang ke Belanda dari Arab Saudi.
"Gak ada, semuanya kembali ke Belanda," kata Sumardji singkat.
Keputusan untuk tidak kembali ke Indonesia ini diinterpretasikan oleh banyak pihak sebagai tindakan 'melarikan diri' dari tanggung jawab dan enggan menghadapi evaluasi secara langsung dari PSSI dan publik sepak bola nasional.
Baca Juga: Indra Sjafri Buka Peluang Mauro Zijlstra Bela Timnas Indonesia di SEA Games 2025
3. Pernyataan Publik Tanpa Kata Maaf
Puncak dari kekecewaan publik datang saat Kluivert akhirnya merilis sebuah pernyataan terbuka di akun media sosialnya.
Meskipun ia menyatakan bertanggung jawab penuh atas kegagalan ini, tidak ada satu pun kalimat permohonan maaf yang secara eksplisit ia sampaikan kepada seluruh masyarakat Indonesia yang mimpinya telah sirna.
Sikap ini, ditambah dengan keputusannya untuk langsung menonaktifkan kolom komentar di unggahannya tersebut, dianggap sebagai puncak dari arogansi dan semakin memperlebar jarak antara sang pelatih dengan para suporter yang kecewa.