Tekanan ini antaranya datang dari imbas krisis ekonomi Asia di akhir 1990-an serta runtuhnya Orde baru, salah satu institusi penting yang menyokong hegemoni maskulinitas Bapakisme.
Pasca-Orde Baru, gerakan perempuan semakin intensif berjuang untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Gerakan perempuan juga menginspirasi lahirnya gerakan laki-laki pendukung kesetaraan gender, seperti Aliansi Laki-Laki Baru (ALB) yang mewadahi pemberontakan laki-laki Indonesia terhadap konstruksi Bapakisme.
Selain itu, mapannya alternatif maskulinitas di berbagai belahan dunia serta perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang menyertai bergulirnya milenium ketiga juga menyumbang pada tekanan ini.
Perubahan pada tatanan gender ini mempengaruhi representasi perempuan dan femininitas ideal di film, dan produk budaya populer lainnya. Perempuan bekerja dan aktif dalam peran publik makin mapan posisinya sebagai bentuk femininitas ideal alternatif. Semangat perubahan ini juga mempengaruhi representasi laki-laki dan maskulinitas di layar lebar.
Maskulinitas dalam kesetaraan gender
Dalam konteks perjuangan mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender, laki-laki dan maskulinitas seringkali ditempatkan sebagai sumber masalah: pelaku kekerasan dalam rumah tangga, penikmat dividen patriarki, dan konstruksi sosial yang mendukung pelestarian ketimpangan gender dan memungkinkan terjadinya kekerasan terhadap perempuan.
Dari situ muncul tekanan untuk berinovasi dalam representasi maskulinitas ideal dalam sosok laki-laki baru yang mendukung ide-ide kesetaraan dan keadilan gender, serta menentang kekerasan dalam rumah tangga.
Otoritas laki-laki dalam pernikahan, khususnya dalam berpoligami, dikuliti habis dalam “Berbagi Suami” (2006). Film tersebut juga memunculkan sosok laki-laki baru melalui karakter anak dari salah satu pasangan poligami. Ia tumbuh sebagai lelaki yang pengertian terhadap siksaan batin yang dialami ibunya.
Fahri dalam “Ayat-ayat Cinta” (2008) pun lantang menyuarakan status dan kedudukan perempuan dalam Islam yang sejalan dengan feminisme, meskipun pada perjalannya dia tertatih dalam usaha mewujudkannya. Film “9 Summers 10 Autumns” (2013) menawarkan maskulinitas laki-laki baru melalui tokoh Iwan yang menentang budaya kekerasan yang dilanggengkan dalam cara orang tua mendidik dan dalam pergaulan anak laki-laki.
Tantangan terhadap ‘laki-laki baru’
Usaha untuk melegitimasi alternatif maskulinitas melalui film bukan tanpa tantangan. Seiring dengan menguatnya upaya perubahan terhadap hegemoni Bapakisme, muncul juga dukungan dan upaya untuk terus melestarikannya.
Golongan muslim yang mendukung interpretasi literal terhadap ajaran Islam adalah salah satu penentang yang paling kuat, baik langsung maupun tidak langsung. Selain itu, golongan ini juga mendukung agar perempuan lebih mengutamakan peran domestik dan reproduktif.
Film “Kun Fayakun” (2008), misalnya, menggunakan agama untuk meneguhkan hegemoni maskulinitas ideal ala Bapakisme dan femininitas ideal Ibuisme.
Di luar perfilman, kampanye media sosial dan aksi protes oleh organisasi dan ulama Islamis untuk menentang pembahasan Rancangan Undang-Undang Keadilan dan Kesetaraan Gender secara tidak langsung menguatkan tantangan dalam mempopulerkan maskulinitas ideal alternatif.
Ini membatasi aspek dan gaya estetika dalam menantang hegemoni Bapakisme di perfilman. Sampai sekarang belum ada film komersial yang menggambarkan maskulinitas ideal melalui sosok laki-laki bapak rumah tangga penuh waktu. Yang dianggap ideal selama ini adalah laki-laki kelas menengah yang rela berkompromi dalam hal karier untuk mendukung karier istrinya dan terlibat dalam pengasuhan. Kemandirian ekonomi perempuan dan keterlibatan laki-laki dalam ranah domestik harus ditampilkan sedemikian rupa agar tidak terlihat mencolok dan subversif.