Suara.com - Angela Gilsha berbagi cerita mengejutkan usai berkunjung ke Pulau Kawe, Raja Ampat baru-baru ini.
Dibagikan akun Instagram Greenpeace Indonesia hari ini, Rabu, 11 Juni 2025, kunjungan Angela Gilsha ke Pulau Kawe awalnya berjalan normal.
Angela Gilsha masih bisa menikmati keindahan alam bawah laut yang memang jadi salah satu nilai jual pariwisata Raja Ampat.
"Pulau itu bener-bener indah banget. Rasanya kayak unreal ada di situ. Pasir putih, koralnya warna neon, semua ikan warna-warni ada di situ. Cantik banget," kisah Angela.
Sampai ketika perjalanan pulang menuju homestay, Angela Gilsha melintas di salah satu pulau yang kini beralih fungsi jadi lokasi pertambangan nikel.
Bukan hasil rekayasa kecerdasan buatan atau AI seperti yang ramai didengungkan di media sosial, Angela Gilsha melihat sendiri bagaimana salah satu pulau kecil di Raja Ampat itu sudah rusak setengahnya.
![Potret Angela Gilsha yang sempat ngaku agnostik. [Instagram: @angelagilsha]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2023/09/12/24295-potret-angela-gilsha-yang-sempat-ngaku-agnostik.jpg)
"Setelah dari pulau itu, kami pindah ke pulau satu lagi yang ada di belakangnya. Di situ, aku lihat secara langsung dengan mata kepala sendiri, pulau yang setengahnya, bagian atasnya itu udah terkeruk, udah berupa tanah-tanah, dan udah banyak alat berat di situ," beber Angela.
Bukan cuma pulaunya yang rusak, air laut di sekitar wilayah pertambangan juga mulai tercemar oleh pasir yang terbawa air hujan.
"Di sekitar pantainya itu juga, pasirnya udah cokelat dan airnya juga udah keruh. Kan habis hujan, jadi pasir dari atas itu masuk ke laut," jelas Angela.
Baca Juga: Izin Tambang Nikel Raja Ampat Resmi Dicabut, Susi Pudjiastuti: Saya Percaya Presiden Prabowo
Cerita mengejutkan Angela Gilsha berawal setelah dirinya dan rombongan berhenti menyaksikan salah satu lokasi pertambangan di Raja Ampat.
Tiba-tiba, Angela Gilsha dan rombongan mendapat peringatan keras dari salah satu petugas keamanan di area pertambangan.
"Di situ ada petugas keamanan yang membunyikan klakson dari atas pulaunya. Keras banget bunyinya, dan di situ aku mulai panik," kisah Angela.

Angela Gilsha sebenarnya bingung, kenapa wisatawan yang ingin melihat lokasi pertambangan di Raja Ampat harus diperingatkan untuk menjauh.
"Kenapa kami diklaksonin? Ini legal kan di sini? Kenapa emangnya? Nggak boleh lihat?" sindir Angela.
Namun karena tidak ingin mencari masalah, Angela Gilsha dan rombongan akhirnya bergegas meninggalkan lokasi tersebut.
"Nggak lama, kami pergi dari situ," tutur Angela.
Ternyata, masalah belum selesai setelah Angela Gilsha dan rombongan menjauh dari area pertambangan.
"Kami dikejar sama sebuah perahu cepat, dan aku nggak tahu itu siapa," kata Angela.
Sampai rombongan hampir tiba di homestay, kapal yang tidak diketahui dari mana asal-usulnya itu masih mengikuti Angela Gilsha dan kawan-kawan.
"Itu kami bener-bener diikutin sampai jauh banget. Bahkan pas kami udah mau sampai ke homestay, kami masih kayak yang, 'Masih ada nggak ya?'" jelas Angela.
Meski akhirnya selamat sampai homestay, Angela Gilsha tetap menggambarkan momen itu sebagai sesuatu yang menegangkan dalam hidupnya.
"Kan aku baru pertama ya, jadi bearing witness kayak gini," ucap Angela.
Cerita kerusakan alam Raja Ampat memang pertama dibagikan oleh Greenpeace, lewat sebuah unggahan di akun Instagram mereka baru-baru ini.
"The Last Paradise. Satu per satu keindahan alam Indonesia dirusak dan dihancurkan, hanya demi kepentingan sesaat dan golongan oligarki serakah," keluh Greenpeace dalam keterangan unggahannya.
Sebelum masuk ke Raja Ampat, pertambangan nikel yang jadi bagian program hilirisasi disebut Greenpeace sudah meninggalkan kerusakan di berbagai tempat.
"Hilirisasi nikel, yang digadang-gadang sebagai jalan menuju energi bersih, telah meninggalkan jejak kehancuran di berbagai tempat, dari Sulawesi hingga Maluku," papar Greenpeace.
Ada andil PT Antam di balik praktek pertambangan nikel yang menimbulkan kerusakan alam di wilayah Raja Ampat.
Dengan demikian, Greenpeace menuntut pemerintah mengambil sikap untuk mencegah kerusakan alam lebih parah di Raja Ampat.
"Pemerintah harus bertanggung jawab atas kehancuran alam yang semakin hari semakin marak terjadi," tegas Greenpeace.