Tugasnya mulia menarik bayaran (royalti) dari kafe, radio, TV, atau konser yang memakai lagu-lagu anggotanya, lalu membagikan uang itu kepada para pencipta lagu.
Masalahnya ada di proses pembagiannya. Para musisi sering merasa proses ini seperti black box atau kotak hitam. Mereka hanya menerima laporan hasil akhir tanpa tahu detail perhitungannya.
Inilah yang membuat LMK, yang seharusnya menjadi mitra, justru sering kali dianggap sebagai lembaga misterius yang sulit ditembus.
4. Aksi 'Nuklir': Menggratiskan Lagu Sebagai Protes Tertinggi
Sebagai puncak protesnya, Tompi melakukan hal yang paling ditakuti oleh sistem penagihan royalti: ia menggratiskan lagunya!
"SILAHKAN YANG MAU MENYANYIKAN LAGU-LAGU saya di semua panggung-panggung pertunjukan, konser, kafe: mainkan. Saya gak akan ngutip apapun sampai pengumuman selanjutnya," tegasnya.
Ini adalah langkah 'nuklir'. Tompi seolah berkata, "Jika sistemnya tidak adil dan transparan, maka saya lebih baik tidak mendapatkan apa-apa dari sistem ini." Ia, sebagai pemilik karya, mengambil alih kembali kuasanya dan mem-bypass lembaga yang seharusnya mewakilinya.
Langkah ini mengirim pesan kuat bahwa masalah utamanya bukan uang, tapi prinsip keadilan dan transparansi.
Baca Juga: Membongkar 'Kotak Pandora' Royalti Musik: Di Balik Protes Tompi, Ada Apa dengan WAMI dan LMK?