Pengalaman Horor Dikta di Pesawat: Mesin Mati Kuping Sakit Pramugari Teriak-teriak

Wakos Reza Gautama Suara.Com
Jum'at, 22 Agustus 2025 | 10:51 WIB
Pengalaman Horor Dikta di Pesawat: Mesin Mati Kuping Sakit Pramugari Teriak-teriak
Pengalaman horor Dikta saat dalam pesawat. [Instagram]

Suara.com - Di balik penampilannya yang tenang dan karismatik di atas panggung, musisi Pradikta Wicaksono atau yang akrab disapa Dikta, ternyata menyimpan sebuah trauma mendalam terhadap penerbangan.

Bukan tanpa alasan, ia pernah mengalami kejadian horor di dalam pesawat yang nyaris merenggut akal sehatnya, sebuah pengalaman yang ia bagikan dan sukses membuat banyak orang ikut merinding.

Kisah mencekam ini terjadi saat ia masih aktif bersama band lamanya dan hendak melakukan tur ke Kalimantan. Semua tampak normal pada awalnya, hingga serangkaian kejanggalan mulai terasa bahkan sebelum pesawat benar-benar mengudara.

Sejak awal memasuki pesawat, Dikta sudah merasakan ada yang tidak beres. Suasana di dalam kabin terasa sangat panas dan pengap, berbeda dari penerbangan pada umumnya. Ia mengira pendingin udara atau AC pesawat mengalami masalah.

"Gua dulu mau tour ke Kalimantan sama band gua yang sebelumnya tuh. udah di pesawat terus gua di pesawat, pesawat panas banget sih gitu," kenang Dikta dikutip dari Youtube Wendi Cagur.

Perasaan tidak nyaman itu berlanjut saat pesawat mulai lepas landas. Telinganya terasa budek, sebuah pertanda yang ia anggap sebagai gejala flu biasa.

Hanya sekitar 15 menit setelah pesawat lepas landas dan tanda sabuk pengaman dipadamkan, neraka di udara pun dimulai.

Tanpa peringatan, Dikta merasakan sakit luar biasa di kedua telinganya, seolah ada yang meremasnya dengan sangat kuat. Di saat yang bersamaan, suasana tenang berubah menjadi kepanikan massal.

"Tiba-tiba pas baru sekitar 15 menitan lah si pramugarinya tuh baru keluar dari tirai. Terus itu udah, tiba-tiba itu kuping gua kayak dibejek pak dari kanan kiri. Sakit banget. Terus enggak tahu gimana tuh pramugari teriak terus pesawatnya wah chaos banget dah. Terus oksigennya jatuh," ujar Dikta. 

Baca Juga: Executive Talk: Bisnis Bengkel Pesawat di Indonesia Banyak Untungnya, Tapi Engineer Banyak Dibajak!

Masker oksigen yang turun dari langit-langit kabin menjadi penanda bahwa situasi benar-benar darurat. Belakangan diketahui, pesawat mengalami kerusakan pada sistem tekanan kabin (cabin pressure system), yang memaksa pilot untuk menurunkan ketinggian secara drastis demi mencegah kerusakan fatal pada struktur pesawat dan keselamatan penumpang.

Mesin Mati dan Teror Masker Oksigen

Kepanikan Dikta mencapai puncaknya saat ia mendengar percakapan pramugari yang menyebutkan bahwa mesin di sisi kanan pesawat mati. Sebuah kebetulan yang mengerikan, karena ia duduk tepat di sebelah mesin tersebut.

"Gua dengar pramugarinya bilang mesin kanannya mati katanya aduh gua duduk di sebelah mesin kanan," tuturnya.

Dalam situasi hidup dan mati itu, ia mencoba menggunakan masker oksigen yang tersedia. Namun, bukannya memberikan kelegaan, masker itu justru menambah horor yang ia rasakan.

"Terus kan suruh pakai oksigen. Pas gua pakai, bau jigong gini. Enggak enak banget malah sesek gua," ungkapnya.

Di tengah kepanikannya, matanya menangkap sebuah tulisan di masker yang membuatnya semakin lemas, yang ia duga adalah tanggal kedaluwarsa.

"Gua lihat enggak tahu gua panik gua salah lihat enggak tapi ini mungkin gua salah ya. Tapi yang gua lihat tulisannya 22 Juli 1987. Ini mungkin gua salah ya. Mungkin gua salah. Gua enggak tahu," katanya, seraya mengakui bahwa penglihatannya bisa saja salah karena kondisi yang sangat kacau.

Tekanan mental dan fisik yang luar biasa hebat akhirnya memicu reaksi tubuh yang tak terduga. Dikta berteriak sekuat tenaga hingga suaranya habis, namun ia juga merasakan sensasi seperti tercekik, membuatnya sulit bernapas.

Saat itulah ia pertama kali menyadari apa itu serangan psikosomatis, di mana stres psikologis bermanifestasi menjadi gejala fisik yang nyata.

"Gua teriak sampai enggak ada suaranya sampai di situ gua ternyata baru tahu namanya psikosomatis tuh ada. jadi gua kayak kecekek," jelasnya.

Selama satu jam penuh, pesawat harus berputar-putar di udara, diduga untuk menghabiskan bahan bakar sebelum bisa melakukan pendaratan darurat. Satu jam tersebut terasa seperti selamanya bagi Dikta dan penumpang lain, terombang-ambing antara harapan dan ketakutan.

Akhirnya, pesawat berhasil mendarat dengan selamat, namun pengalaman mengerikan itu terlanjur membekas dan menjadi trauma mendalam bagi Dikta hingga hari ini.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI

Ingin dapat update berita terbaru langsung di browser Anda?