Kemenkes Akui Pasang Infus Belum Punya Standar Nasional, Pasien Bisa Berisiko!

Rabu, 20 Agustus 2025 | 11:10 WIB
Kemenkes Akui Pasang Infus Belum Punya Standar Nasional, Pasien Bisa Berisiko!
Analis Kebijakan Ahli Muda, Direktorat Mutu Pelayanan Kesehatan Rujukan, Kemenkes RI, dr. Rizki Rahayuningsih, MKM di BSD City, Tangerang (Suara.com/Dini Afrianti)

Suara.com - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengakui prosedur medis pasang infus atau Terapi Intravena (IV) saat ini belum memiliki Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) yang harus diterapkan seluruh rumah sakit maupun fasilitas kesehatan Indonesia.

Analis Kebijakan Ahli Muda, Direktorat Mutu Pelayanan Kesehatan Rujukan, Kemenkes RI, dr. Rizki Rahayuningsih, MKM mengatakan prosedur pemberian cairan, obat atau nutrisi langsung ke pembuluh darah pasien yaitu terapi IV di Indonesia berpatokan pada standar operasional atau SPO rumah sakit.

"Jadi PNPK memang saat ini khusus terapi IV, memang tidak ada secara khusus karena PNPK itu kami buat untuk yang high cost, high volume dan risiko tinggi dan beraneka ragam cara penanganan itu harus dibikinkan PNPK. Jadi memang, tertentu saja," ujar dr. Rizki dalam acara diskusi Vein Heroes Jamboree di BSD City, Tangerang beberapa waktu lalu.

"Tetapi IV terapi sendiri, tatalaksananya harus dibuat oleh fasilitas pelayanan kesehatan, bisa dapat dalam bentuk SPO," lanjut dr. Rizki.

Ilustrasi infus (Pixabay/Stefan Schweihofer)
Ilustrasi infus (Pixabay/Stefan Schweihofer)

Ketiadaan PNPK pada terapi IV ini dinilai berisiko bagi pasien, karena tidak ada standar mutu pelayanan terkait keamanan tindakan. Apalagi tidak jarang proses pemasangan infus kerap jadi 'konflik' antara tenaga kesehatan dan pasien.

Contohnya pada April 2025 lalu, Indonesia dihebohkan dengan nasib nahas Arumi, balita 14 bulan di Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) tangan kanannya diamputasi karena mengalami infeksi parah setelah beberapa kali alami kegagalan proses pemasangan infus.

Hasilnya perawat Puskesmas Bolo yang saat itu tidak mengganti jarum infus atau aboket pada pemasangan infus selanjutnya diduga lakukan tindakan malpraktik.

Peristiwa ini bisa jadi pembelajaran penting, mengingat jika tanpa standar mutu pelayanan terapi IV, bisa berisiko membahayakan pasien hingga membuat tenaga kesehatan berhadapan dengan hukum.

BD Country Business Director, Hari Nurchayo di BSD City, Tangerang (Suara.com/Dini Afrianti)
BD Country Business Director, Hari Nurchayo di BSD City, Tangerang (Suara.com/Dini Afrianti)

Apalagi terapi IV masih jadi kebutuhan 9 dari 10 pasien. Hal ini menunjukkan betapa populernya terapi IV di Indonesia hingga dunia yang juga bisa lebih berisiko menimbulkan masalah.

Baca Juga: Rencana Bangun Apotek dan Klinik Desa, Wamenkop Sebut Kemenkes Siap Dukung

Fakta menarik juga diungkap BD Country Business Director, Hari Nurchayo yang mengatakan mayoritas terapi IV di Indonesia masih menggunakan teknologi yang terbilang lampau karena diluncurkan pada 1964, yaitu material kateter kanula berbahan teflon.

Setelahnya sudah ada material yang lebih baru yaitu kanula polyurethane pada 1983. Bahkan yang teranyar ada material kateter kanula berbahan BD Vialon yaitu perpaduan polyurethane dan biomaterial yang lebih ramah lingkungan, serta memiliki 2 jalur sekaligus tanpa harus menusukkan jarum di bagian tubuh pasien yang lain.

"Terus terang kalau di Indonesia masih pakai bahan teflon itu teknologi tahun 90-an, saat ini udah ada teknologi yang Vialon," ungkap Hari.

"Kalau kita bicara dengan pertentuan TKDN (tingkat komponen dalam negeri) dan sebagainya mayoritas sih masih teflon. Di atas 65 persenlah," sambungnya.

Hari menambahkan penggunaan kateter infus berbahan teflon menurutnya bisa meningkatkan risiko flebitis atau peradangan pembuluh darah vena. Kondisi ini ditandai pembengkakan pada area pembuluh darah dan bisa menyebabkan nyeri.

Sedangkan jika menggunakan kateter infus berbahan Vialon risiko flebitis akan berkurang sebesar 30 persen. Hari juga mengingatkan, tubuh memiliki kemampuan adaptasi yang cepat sehingga saat masuk ke tubuh maka material akan dianggap sebagai benda asing.

Pada kateter berbahan teflon yang tingkat 'kemiripannya' lebih jauh dari tubuh, maka akan ada risiko perlawanan dari tubuh sehingga bereaksi. Berbeda dengan kateter dengan teknologi teranyar bahan lebih 'mirip' dengan pembuluh darah tubuh yaitu lebih lentur.

"Kalau misalnya material yang dibentuknya itu betul-betul menyesuaikan atau misalnya sebagai less triggering sistem tubuh gitu kan, itu akan diterima dengan baik," ungkap Hari.

Meski begitu Hari juga mengakui tidak mungkin menerapkan teknologi ini terhadap semua pasien di Indonesia karena terkendala harga. Sehingga standar mutu dan pelayanan proses pemasangan infus bisa disesuaikan berdasarkan kondisi setiap pasien.

Seperti misalnya pasien di ICU yang berisiko tinggi karena kondisi yang lemah, maka ia membutuhkan kateter yang lebih tahan lama sehingga tidak perlu lepas pasang infus yang berisiko meningkatkan peluang infeksi.

Sedangkan pada pasien di IGD bisa lebih beradaptasi, maupun sekadar suntik vitamin maupun tanpa perlu rawat inap masih bisa memanfaatkan teknologi teflon karena terkendala 'TKDN'.

"Apakah memang teflon tidak bisa digunakan? Bisa saja. Cuman mungkin selection-nya itu lebih ke arah risk-nya. Jangan sampai misalnya, di ICU, pasien-pasien yang berat gitu kan dikasih pakai teknologi yang rendah ini. Dampaknya lebih banyak lagi kan negatifnya gitu," pungkas Hari.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI