- Psikolog klinis menjadi kunci dalam menangani masalah kesehatan mental di layanan primer, termasuk di puskesmas yang kini wajib memiliki tenaga ini.
- Kebutuhan psikolog klinis masih jauh dari cukup, sehingga IPK Indonesia mendorong pemerataan, peningkatan kompetensi, dan akses layanan yang lebih mudah bagi masyarakat.
- Kongres V IPK Indonesia membahas pemilihan kepengurusan baru serta arah kebijakan profesi untuk memperkuat layanan kesehatan jiwa nasional.
Suara.com - Dalam beberapa tahun terakhir, kesehatan mental bukan lagi isu pinggiran, ia telah menjadi bagian sentral dari kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.
Stres yang menumpuk, kecemasan yang meningkat, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, hingga gangguan mental berat seperti skizofrenia kini semakin sering ditemukan, bahkan di tingkat komunitas.
Di tengah kompleksitas ini, peran Psikolog Klinis menjadi semakin penting untuk memastikan masyarakat mendapatkan pertolongan yang tepat, cepat, dan profesional.
Psikolog Klinis adalah tenaga kesehatan yang telah menempuh pendidikan profesi psikologi klinis, dikukuhkan sebagai psikolog klinis oleh organisasi profesi, dan memiliki kewenangan untuk memberikan pelayanan psikologi klinis kepada masyarakat, mulai dari asesmen, diagnosis, intervensi, hingga evaluasi.
Menurut Undang-Undang Kesehatan dan Permenkes, seorang psikolog klinis wajib memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) dari Konsil Kesehatan Indonesia serta Surat Izin Praktik Psikolog Klinis (SIPPK) yang dikeluarkan pemerintah daerah. Legalitas ini penting agar masyarakat tidak keliru mendapatkan layanan dari pihak yang tidak kompeten.
Dalam praktiknya, psikolog klinis menangani beragam permasalahan: kecemasan berlebih, depresi, trauma, pikiran menyakiti diri sendiri, kecanduan, gangguan tidur, masalah citra tubuh, ADHD, autisme, kesulitan belajar, gangguan makan, hingga gangguan perilaku yang menghambat perkembangan diri.
Peran Psikolog Klinis di Puskesmas
Di fasilitas pelayanan kesehatan pertama seperti puskesmas, psikolog klinis bahkan menjadi garda terdepan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Ketua Ikatan Psikolog Klinis Indonesia (IPK) Indonesia Wilayah Jakarta, Annelia Sarisani, S.Psi, Psikolog, menjelaskan bahwa gambaran publik yang menganggap puskesmas hanya menangani kasus-kasus ringan adalah keliru.
Baca Juga: Kepala 'Meledak' Gara-gara Overthinking? Ini 6 Jurus Jitu buat Bungkam Pikiranmu
“Rata-rata kasusnya tidak ece-ece. Justru gangguan kecemasan, depresi, sampai skizofrenia sudah banyak sekali ditangani di puskesmas. Ada 30 diagnosis yang memang wajib bisa ditangani di puskesmas oleh psikolog klinis,” ujarnya.
Selain itu, psikolog klinis di puskesmas juga menjadi first responder dalam kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Hampir di semua puskesmas, kelompok penanganan kasus kekerasan dipimpin oleh psikolog klinis.
Artinya, psikolog klinis tidak hanya bekerja pada tataran kuratif, tetapi juga menjalankan fungsi preventif, promotif, hingga rehabilitatif.
Namun, menurut Sekretaris Jenderal IPK Indonesia, Wahyu Nhira Utami, M.Psi tantangannya besar. Bagaimana tidak, Indonesia memiliki lebih dari 10.000 puskesmas, sementara jumlah psikolog klinis baru sekitar empat ribu orang.
“Artinya PR-nya besar sekali. Bagaimana caranya produksi psikolog klinis bisa lebih banyak? Karena masih jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan puskesmas, rumah sakit, dan fasilitas layanan lainnya,” kata dia.
Kondisi ini menjadi semakin mendesak setelah diterbitkannya Permenkes Nomor 19 Tahun 2024 yang menetapkan psikolog klinis sebagai tenaga kesehatan esensial yang wajib tersedia di puskesmas.