Tradisi "Pacu Kude" Sambut Hari Kemerdekaan

Esti Utami Suara.Com
Rabu, 13 Agustus 2014 | 13:38 WIB
Tradisi "Pacu Kude" Sambut Hari Kemerdekaan
Para joki kuda Gayo, Aceh Tengah (lintasgayo.com)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Masyarakat Kabupaten Aceh Tengah, memiliki tradisi unik menyambut hari kemerdekaan, yakni lomba pacuan kuda tradisional dengan joki tanpa menggunakan pelana. Tradisi yang oleh masyarakat setempat disebut "Pacu Kude" ini menjadi atraksi yang mampu menyedot puluhan ribu penonton.

Tahun ini, lomba ini akan digelar selama sepekan terhitung sejak 18 Agustus 2014, di arena Blang Bebangka Kecamatan Pegasing, Takengon.  Ratusan kuda dari berbagai daerah di dataran tinggi "Tanah Gayo" seperti Kabupaten Bener Meriah, Gayo Lues dan Aceh Tenggara dipastikan bakal meramaikan lomba pacuan tradisional untuk menyemarakkan peringatan Kemerdekaan ke 69 RI, 17 Agustus 2014.

"Salah satu kegiatan menyemarakkan 17 Agustus di daerah kami adalah perlombaan kuda pacuan. Kegiatan ini sudah mentradisi diselenggarakan di Aceh Tengah," kata Kabag Hums dan Protokol Setdakab Aceh Tengah Mustafa Kamal yang dihubungi dari Banda Aceh, Rabu (13/8/2014).

Dalam buku "Pesona Tanoh Gayo" yang ditulis almarhum A.R. Hakim Aman Pinan, Pacu kude awalnya adalah hiburan rakyat yang terselenggara bahkan sebelum Belanda menginjakkan kakinya di Bumi Gayo.

Saat itu, Pacu kude biasa digelar di areal persawahan pada saat lues blang atau masa selepas panen.  Masa lues blang ini kebetulan hampir selalu bertepatan dengan bulan Agustus. Selain alasan ini, mengapa Pacu kude selalu digelar pada bulan Agustus, karena kondisi cuaca yang mendukung.

Awalnya, pacu kude diselenggarakan di kampung Bintang, yang terletak di sisi barat Danau Laut Tawar. Waktu penyelenggaraan dimulai pukul 08.00 pagi sampai pukul 10.00 WIB, kemudian dilanjutkan setelah shalat ashar sampai pukul 18.00 WIB.

Ciri khas dari Pacu kude adalah para joki tidak dibenarkan mengenakan baju alias telanjang dada. Juga tidak ada hadiah bagi pemenang, hanya "gah" alias penghargaan secara sosial. Kemenangan yang diperoleh tersebut dilanjutkan dengan perayaan, yang biayanya ditanggung bersama oleh penduduk setempat dengan sistem berpegenapen. Biasanya warga memotong hewan ternak untuk makan bersama.

Pada tahun 1912, pemerintah kolonial Belanda melihat Pacu kude dapat menjadi media untuk menyatukan rakyat. Mereka lantas memindahkan lokasi pacuan ke Takengon, tepatnya di blang Kolak (sekarang lapangan Musara Alun). Pemerintah klolonial Belanda lantas mengaitkan Pacu kude dengan hari ulang tahun ratu Wilhelmina. Untuk menyemarakkan even ini Belanda juga menyediakan hadiah dan piagam bagi para juara. Tradisi memberikan hadiah berlanjut sampai hari ini.

Beberapa aturan juga berubah. Arena pacu dibuat oval dan dipagari dengan rotan. Para joki yang sebelumnya bertelanjang dada, kini baju warna warni. Kuda-kuda yang ikut bertanding, juga tak lagi berasal dari kampung Bintang, tetapi juga datang dari wilayah onder-afdeling Takengon dan daerah lainnya. Yang bertahan hingga kini, adalah para joki bertanding tanpa pelana.

Pada tahun 1950-an, kuda pacu asal kampung Kenawat, Gelelungi, Pegasing, Kebayakan dan Bintang, bisa dikatakan paling aktif di Pacu kude. Versi lain menyebut awalnya Pacu kude hanyalah aktivitas iseng pemuda-pemuda kampong di Gayo, terutama di Bintang di sekitar Danau Laut Tawar, seusai musim panen. Menjadi kebiasaan anak muda, menangkap liar dengan kain sarung tanpa setahu empunya dan memacunya. Saat memacu, kadangkala terserempak dengan kelompok pemuda dari kampung lain, yang melakukan hal yang sama. Lalu terjadi interaksi sosial, di mana para joki dari masing-masing kampung sepakat untuk mengadakan balapan kuda antara kampung. (Antara/dari berbagai sumber)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI