Tapi, Bung Karno dan Bung Hatta tidak mau mengumumkan proklamasi tanpa bermusyawarah dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Pada 15 Agustus, suasana di Jakarta tegang. Tentara Jepang menutupi kekalahan mereka.
Golongan muda yang berjiwa dinamis dan revolusioner berpendapat kemerdekaan Indonesia harus segera diproklamasikan. Mereka menilai, PPKI adalah buatan Jepang.
"Pada saat itu, terjadi gesekan dengan golongan tua yang dipelopori Bung Karno, yang menginginkan agar tidak ada nyawa yang melayang dalam mencapai kemerdekaan Indonesia," ujar sejarahwan Roesdy Hossein.
Pada 15 Agustus, Bung Karno, Bung Hatta, dan Mr Ahmad Subardjo pergi ke kantor Guisekan, untuk mengecek sampai di mana kebenaran berita yang dibawa oleh Syahrir.
Mereka gagal menemui Guisekan dan tidak berhasil menemui seorang pejabat Jepang yang berwenang. Siangnya mereka pergi ke kantor Laksamana Maeda, di Jl Merdeka Utara. Laksamana Maeda juga tidak dapat menjelaskan berita tentang kekalahan Jepang.
Pada 15 Agustus 1945 pukul 20.00 di salah satu ruangan Lembaga Bacteriologi di Jl Pegangsaan Timur 17, para pemuda mengadakan pertemuan dipimpin Chairul Saleh. Diputuskan, Wikana dan Darwis yang akan menyampaikan keputusan itu.
Kedua orang utusan itu tiba di kediaman Bung Karno pada pukul 22.30, dan menuntut Bung Karno mengumumkan proklamasi ke merdekaan pada 16 Agustus 1945.
Bung Karno menolak karena tidak mau meninggalkan PPKI. Lalu, Wikana mengancam jika Bung Karno tidak mau mengumumkan proklamasi, esok hari akan terjadi pertumpahan darah.
Bung Karno naik pitam mendengar ancaman tersebut dan menantang Wikana: "Ini batang leherku. Potonglah leherku malam ini juga".