Meski demikian, tidak berarti setiap anak harus memberikan nafkah kepada orang tuanya. Hal ini tergantung dengan kondisi dari orang tua anak tersebut.
"(Adapun orang tua wajib dinafkahi) oleh keturunannya (dengan dua syarat) atau salah satunya, yaitu ([pertama] kefakiran dan penyakit kronis) tertimpa musibah atau bencana [yang mencegahnya berusaha-pen], ([kedua] kefakiran dan kegilaan) karena riil hajat mereka ketika itu. Dari sini anak-keturunannya tidak wajib menafkahi orang tua yang fakir dan sehat; atau fakir dan waras meskipun mereka memiliki usaha/pekerjaan karena kemampuan berusaha/bekerja setara dengan potensi memiliki harta. Jika mereka tidak memiliki usaha, anak-keturunan mereka wajib menafkahinya, menurut pendapat lebih zhahir di Raudhah dan tambahan di Minhaj. Anak-keturunan diperintahkan bergaul dengan orang tuanya secara baik. Bukan termasuk kategori pergaulan baik kalau anak-keturunan membiarkan orang tua yang sudah renta/kakek-neneknya berusaha/bekerja." (Muhammad bin Ahmad As-Syarbini, Al-Iqna’ pada Hasyiyatul Bujairimi alal Khatib, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1996 M/1417 H, juz IV, halaman 439-440).
Oleh sebab itu, sebenarnya yang diwajibkan dalam Islam lebih kepada bagaimana anak berbakti dengan orang tuanya. Sementara untuk memberikan nafkah dalam besaran tertentu kepada orang tua tidak harus dipaksakan.
Pemberian nafkah ini juga bisa dilihat dari keuangan orang tuanya. Apabila kereka membutuhkan, lalu anak mampu, maka wajib memberinya nafkah. Namun, jika orang tua mampu, anak tidak wajib memberi nafkah, tetapi berbakti kepadanya yang diutamakan.