Suara.com - Di tengah gemerlap kariernya di Jakarta, Yanti Lidiati membuat keputusan besar. Tahun 2011, saat menduduki posisi Kepala Pengembangan Sumber Daya Manusia di sebuah perusahaan farmasi ternama, ia memilih pulang kampung. Alasan utamanya ialah merawat sang ibu, Tjitjih Rukarsih, yang tengah sakit.
Di Desa Lampegan, Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung, Yanti menemukan kenyataan lain. Banyak perempuan usia produktif tampak hanya berkumpul, berbincang tanpa arah. Hatinya tergerak. Ia yakin, mereka bisa lebih berdaya.
Yanti menawarkan ide sederhana: belajar menjahit. Namun, ajakan itu tidak langsung mendapat sambutan hangat. Banyak yang ragu, minder, bahkan merasa tidak mampu menghasilkan karya yang layak jual. Namun Yanti tak menyerah.
Tahun 2016, ia membentuk kelompok Wanita Mandiri. Awalnya hanya beranggotakan tujuh orang. Bersama mereka, Yanti perlahan membangun usaha kecil-kecilan. Fokus utamanya membuat blazer berbahan sarung premium. Produk ini ia beri nama It’s Blazer Ibun.

"Aku buat desainnya, ibu-ibu yang mengerjakannya," ujar Yanti, mengenang masa-masa awal perjuangan itu.
Pelan tapi pasti, usaha tersebut berkembang. Pendapatan para ibu mulai meningkat. Cerita keberhasilan mereka menyebar dari mulut ke mulut, menarik lebih banyak perempuan untuk bergabung.
Namun, Yanti memberlakukan satu syarat penting setiap perempuan yang ingin bergabung harus bersedia mengikuti pendidikan paket B atau C, setara SMP dan SMA.
Mayoritas perempuan di Lampegan memang hanya berijazah SD. Menurut Yanti, pendidikan adalah pondasi kemandirian.
"Kalau mau sekolah lagi, saya janji dampingi wirausaha mereka," tegasnya.
Baca Juga: Fantastis! Hampir 1 Juta UMKM Rasakan Manfaat KUR BRI di Awal 2025
Dalam hampir lima tahun, Wanita Mandiri sudah berpartisipasi di sekitar 30 pameran, baik tingkat nasional maupun internasional.