Lagu ini mempertanyakan motivasi dasar manusia dalam menjalankan kebaikan dan beragama. Lewat bait “Jika surga dan neraka tak pernah ada, masihkah kau menyembah-Nya?”, Ahmad Dhani mengajak pendengar untuk berefleksi: apakah kebaikan kita didasarkan pada cinta yang tulus, atau hanya karena takut neraka dan ingin surga?
Setiap bait dalam lagu ini punya makna filosofis tersendiri. Baris pembuka seperti “Andai ku bisa menembus batas waktu” menunjukkan kerinduan akan pemahaman spiritual yang lebih dalam.
Sedangkan bagian “Aku ingin hidup seribu tahun lagi” (yang mengutip puisi Chairil Anwar) menyiratkan keinginan untuk hidup bermakna dan terus mencari kebenaran, bukan karena pahala semata, melainkan karena hidup itu sendiri pantas dijalani dengan nilai.
Dengan pendekatan lirik yang kontemplatif, Ahmad Dhani menawarkan kritik terhadap praktik religius yang bersifat transaksional. Ia tidak mempertanyakan keberadaan surga dan neraka, tetapi lebih pada menantang kita untuk melihat: apakah ibadah dan amal kita tetap dilakukan jika tidak ada ganjaran ataupun ancaman?
Di tengah masyarakat yang kadang masih memandang agama sebagai alat timbal-balik antara manusia dan Tuhan, lagu ini menjadi relevan sebagai pengingat pentingnya keikhlasan dalam spiritualitas. Tidak heran jika hingga kini, lagu ini terus menjadi bahan diskusi, bahkan kontroversi.
Secara keseluruhan, “Jika Surga dan Neraka Tak Pernah Ada” bukan sekadar lagu religi, melainkan refleksi moral yang tajam. Kontroversi seputar lisensi dan orisinalitasnya hanyalah satu sisi cerita. Sisi lainnya, yang justru lebih penting, adalah bagaimana lagu ini mendorong kita semua untuk mengevaluasi ulang niat dalam berbuat baik. Apakah karena cinta? Atau karena imbalan?