“Kalau aku posisinya di pesawat ditanya terganggu nggak? Ya jawabannya pasti nggak, soalnya kalau jawab iya nanti dikeroyok. Jadi jangan kira mereka diam artinya menerima.”
Pernyataan ini mengindikasikan adanya potensi ketidakseimbangan dalam relasi sosial antara kelompok mayoritas dan minoritas di ruang publik.
Sementara itu, @Ari***, yang mengaku seorang Muslim, menegaskan pentingnya kesadaran akan ruang publik. “Intinya ini pesawat umum, bukan pesawat carter. Kalau sesuatu yang bersifat umum, harus menghormati hak orang lain juga.”
Ia menyampaikan pesan bahwa sekalipun ibadah merupakan hak individu, pelaksanaannya tetap harus mempertimbangkan keberagaman latar belakang para pengguna ruang bersama.
Komentar lain yang cukup menohok datang dari akun @ra****, yang menekankan prinsip toleransi. Ia menulis, “Kalau kursi pesawat dibooking satu rombongan sampai penuh, silakan mau khataman se-Al-Qur'an pun boleh. Tapi kalau masih ada kursi untuk umum, mohon pertimbangkan orang lain, siapa tahu mereka bukan seagama dengan kita. Toleransi itu menghormati.”
Pandangan ini mencerminkan semangat pluralisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam video yang sama, tampak pula pasangan yang diduga merupakan warga negara asing duduk tenang di antara rombongan.
Keberadaan mereka mempertegas pentingnya kesadaran bahwa pesawat merupakan ruang yang dihuni oleh orang-orang dari latar belakang budaya, agama, dan kebangsaan yang berbeda.
Fenomena ini pada akhirnya mengundang refleksi lebih dalam: sampai di mana batas pelaksanaan ibadah di ruang publik? Apakah niat baik cukup untuk membenarkan tindakan yang bisa jadi menimbulkan ketidaknyamanan bagi sebagian pihak?
Momen di dalam pesawat tersebut memang mencerminkan semangat religiositas yang kuat, namun sekaligus menjadi pengingat bahwa keharmonisan sosial dibangun bukan hanya dari ketulusan niat, tetapi juga dari kepekaan terhadap lingkungan sekitar.
Baca Juga: Diledek 'Gubernur Konten', Dedi Mulyadi Beri Balasan Menohok: Viral Terus, Tapi Belanja Iklan Turun