Suara.com - Pada momen Hari Raya Idul Adha yang penuh berkah, umat Muslim dari berbagai penjuru dunia beramai-ramai mendatangi masjid maupun lapangan terbuka untuk menunaikan ibadah salat Idul Adha. Seusai menunaikan salat, mereka akan menyimak khutbah Idul Adha yang disampaikan oleh khatib sebagai pengingat dan pencerahan jiwa.
Khutbah ini tidak hanya bersifat singkat dan padat, tetapi juga mengandung pesan yang sangat menyentuh hati, terutama ketika membahas tentang sejarah kurban yang begitu mengharukan dan sarat makna spiritual.
Khutbah Idul Adha Singkat Padat dan Mengharukan

Inilah contoh khutbah Idul Adha mengharukan yang mengangkat kisah pengorbanan:
Segala puji bagi Allah SWT atas limpahan nikmat dan rahmat-Nya. Atas izin-Nya, kita semua bisa berkumpul di rumah Allah ini, dalam keadaan sehat dan penuh keberkahan. Dalam hidup ini, ada tiga bentuk anugerah utama yang membuat kehidupan menjadi lebih sempurna: nikmat iman, kesehatan yang prima, dan waktu luang yang bisa dimanfaatkan dengan baik.
Tidak semua insan diberi ketiga anugerah tersebut secara bersamaan. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita memperbanyak rasa syukur kepada Allah SWT dengan meningkatkan ketakwaan, menjalankan segala perintah-Nya, dan menjauhkan diri dari apa yang dilarang oleh-Nya.
Dalam menjalani kehidupan, kita semua pasti akan menghadapi ujian, tantangan, dan membutuhkan semangat pengorbanan. Tanpa adanya pengorbanan, keberhasilan sejati sulit diraih. Salah satu kisah pengorbanan terbesar dan paling menggetarkan hati dalam sejarah umat Islam adalah kisah Nabi Ibrahim AS bersama keluarganya: istrinya Siti Hajar RA dan putranya yang mulia, Nabi Ismail AS.
Nabi Ibrahim AS merupakan figur panutan yang menunjukkan keteguhan iman dan kepatuhan total terhadap perintah Allah. Ia bersedia mengorbankan segala hal yang dicintainya demi meraih rida Allah SWT. Kisahnya menjadi simbol dan suri teladan bagi umat manusia dalam beriman secara total kepada Sang Pencipta.
Sebagaimana tertuang dalam surah Al-Mumtahanah ayat 4, pengorbanan dan prinsip hidup Nabi Ibrahim menjadi pelajaran bahwa kesetiaan kepada Allah melebihi segala hubungan dan kecintaan duniawi. Nabi Ibrahim bahkan harus menghadapi dilema besar: mengorbankan putra yang telah lama dinantikan, Nabi Ismail AS, yang baru diberikan Allah ketika beliau telah berusia lanjut.
Namun, atas dasar keikhlasan dan ketundukan kepada kehendak Allah SWT, perintah itu tetap dilaksanakan. Dalam surah As-Saffat ayat 100-111, tergambar jelas bagaimana Nabi Ibrahim dengan penuh kasih meminta pendapat putranya. Jawaban Nabi Ismail yang sabar dan ikhlas, “Wahai Ayahku, laksanakanlah apa yang diperintahkan kepadamu,” menjadi potret luar biasa dari keteguhan hati seorang anak dalam menjalankan perintah Allah.
Baca Juga: Daftar Harga Sapi Kurban Idul Adha 2025 Terbaru, Jangan Kaget Lihat Nominalnya!
Momen ketika Nabi Ibrahim hampir menyembelih putranya adalah gambaran paling mengharukan dalam sejarah pengorbanan. Namun, Allah menggantinya dengan hewan kurban yang besar sebagai bentuk penghormatan atas keimanan mereka. Itulah makna terdalam dari Idul Adha: semangat berkurban yang tulus dan ikhlas demi mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Secara etimologis, kata “kurban” berasal dari bahasa Arab qaraba–yaqrabu–qurbanan, yang berarti mendekatkan diri. Melakukan kurban berarti melakukan tindakan yang mampu membawa seorang hamba semakin dekat dengan Tuhannya, menuju kehidupan yang penuh keberkahan dan keberartian.
Seorang pemikir Muslim, Ali Syariati, pernah menyampaikan bahwa “Ismail” adalah simbol dari segala sesuatu yang kita cintai dalam kehidupan ini: harta benda, kekuasaan, jabatan, atau kenyamanan duniawi. Terkadang, kecintaan kita terhadap “Ismail-Ismail” duniawi itu justru melemahkan iman, menjauhkan kita dari perintah Allah, bahkan mendorong manusia menjadi egois dan tamak.
Dalam konteks khutbah Idul Adha yang singkat, padat, dan mengharukan, kisah ini menjadi inti yang bisa menggugah kesadaran setiap pendengarnya. Bahwa sejatinya kurban bukan hanya menyembelih hewan, tapi juga menyembelih ego, ambisi, dan segala bentuk cinta dunia yang melalaikan kita dari Allah.
Mari kita jadikan keteladanan Nabi Ibrahim dan Ismail AS sebagai inspirasi dalam kehidupan. Apapun bentuk “Ismail” kita saat ini, jangan sampai menghalangi kita untuk taat kepada Allah. Sebab, hanya dalam rida-Nya lah terdapat kebahagiaan yang sejati, kebahagiaan yang bersifat kekal.
Sebagaimana ungkapan para sufi: “Ya Illahi anta maqsudi wa ridhaka mathlubi” – Wahai Tuhanku, Engkaulah tujuan utamaku dan rida-Mu lah yang aku cari. Semoga khutbah Idul Adha ini, meskipun disampaikan secara singkat dan padat, tetap mampu menggugah hati dan membangkitkan semangat pengorbanan serta ketulusan dalam diri kita semua.