Suara.com - Setiap orang tua memiliki kewajiban untuk memberikan nafkah kepada anak-anaknya, khususnya ayah sebagai kepala keluarga dan rumah tangga. Baik anak laki-laki maupun perempuan, orang tua wajib memenuhi nafkah mereka.
Kewajiban ayah untuk menafkahi anaknya ini juga tercantum dalam Al-Qur'an QS. Al-Baqarah: 33, yang berbunyi:
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنّ بِالْمَعْرُوفِ
"Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut."
Sejak anak lahir hingga beranjak dewasa, kebutuhan hidupnya mulai dari makanan, pakaian, pendidikan, kesehatan, hingga perlindungan menjadi tanggung jawab penuh yang dipegang orang tua.
Mengutip dari laman NU Online, menafkahi anak merupakan kewajiban yang dibebankan oleh syara', berdasarkan nilai kasih sayang. Kewajiban menafkahi anak sejatinya dibebankan untuk seorang ayah.
Namun, kewajiban ayah untuk menafkahi bisa gugur apabila ibu atau orang lain memberikan nafkah terlebih dahulu kepada anak (tabarru’).
Besaran nafkah seorang ayah terhadap anaknya tidak selalu didasarkan pada nominal uang. Hal itu lantaran kebutuhan masing-masing anak tentu berbeda-beda, tergantung gaya hidup dan usianya.
Secara umum, ayah wajib menafkahi kebutuhan pokok anak, seperti sandang, pangan, papan, dan kebutuhan lain yang masih bersifat pokok. Selain itu, ayah juga wajib memberikan nafkah kebutuhan lain yang bersifat sekunder apabila anak membutuhkannya.
Baca Juga: Cara Menafkahi Anak Setelah Bercerai Menurut Hukum Islam
Namun, ketika anak telah dewasa dan menikah, apakah kewajiban menafkahi itu masih tetap berlaku? Apakah ayah masih berkewajiban memenuhi kebutuhan anak yang sudah memiliki pasangan dan kehidupan rumah tangganya sendiri?
Pada dasarnya, orang tua menafkahi anak karena anak belum mampu secara finansial karena belum bisa bekerja menghasilkan uang sendiri, mencari makan sendiri, dan tidak memiliki tabungan untuk membiayai hidup dan kebutuhannya sehari-hari.
Orang tua sudah tidak diwajibkan untuk menafkahi anak ketika mereka sudah baligh dan mampu bekerja untuk mencari uang dan menafkahi diri sendiri.
Akan tetapi, orang tua tetap wajib untuk menafkahi anaknya ketika sang anak yang sebetulnya telah mampu bekerja sedang berjuang untuk pendidikannya, seperti kuliah atau belajar di pondok pesantren.
Jika anak dipaksakan bekerja mencari nafkah sambil sekolah, maka bisa dipastikan pendidikannya terbengkalai. Saat itulah orang tua wajib menafkahi mereka.
Ada kondisi lain yang tidak mewajibkan orang tua menafkahi anak, yaitu ketika anaknya telah memiliki cukup uang atau tabungan sehingga bisa dikategorikan sebagai orang yang mampu secara finansial. Misalnya, anak yang sudah mendapatkan harta warisan dalam jumlah besar meskipun masih kecil, orang tua tidak diwajibkan untuk menafkahinya.
Hal itu seperti yang tercantum dalam kitab Hasyiyah al-Baijuri:
فالغني الصغير او الفقير الكبير لا تجب نفقته – إلى أن قال - وقد استفيد مما تقدم ان الولد القادر على الكسب اللائق به لا تجب نفقته بل يكلف الكسب بل قد يقال انه داخل في الغني المذكور. ويستثنى ما لو كان مشتغلا بعلم شرعي ويرجى منه النجابة والكسب يمنعه فتجب حينئذ ولا يكلف الكسب
“Anak kecil yang kaya atau orang baligh yang fakir tidak wajib (bagi orang tua) menafkahi mereka. Dan dapat pahami bahwa anak yang mampu bekerja yang layak baginya tidak berhak lagi menerima nafkah, sebaliknya ia (justru) dituntut untuk bekerja. Bahkan, ada pendapat yang mengatakan bahwa anak yang mampu bekerja ini masuk kategori anak yang kaya. Dikecualikan ketika anak yang telah mampu bekerja ini sedang mencari ilmu syara’ dan diharapkan nantinya akan menghasilkan kemuliaan (dari ilmunya) sedangkan jika ia bekerja maka akan tercegah dari rutinitas mencari ilmu, maka dalam keadaan demikian ia tetap wajib untuk dinafkahi dan tidak diperkenankan untuk menuntutnya bekerja.” (Syekh Ibrahim al-Baijuri, Hasyiyah al-Baijuri, juz 2, hal. 187).
Ketentuan itu merupakan aturan umum mengenai batas kewajiban orang tua dalam menafkahi anak menurut para ulama. Namun dalam praktiknya, orang tua sebaiknya tetap mempertimbangkan kondisi anak, khususnya terkait kesiapan mental mereka untuk hidup mandiri dan tidak lagi bergantung pada orang tua.
Jika anak belum siap secara mental atau belum menemukan pekerjaan yang layak, sebaiknya orang tua tetap memberikan nafkah, meskipun hal ini sebenarnya sudah bukan kewajiban. Bantuan ini sebaiknya dibarengi dengan dorongan agar anak terus berusaha belajar mandiri dan membangun kemandirian hidupnya.