suara hijau

Krisis Iklim Mencuri Masa Depan: Generasi Muda Jadi Korban Utama Bencana Alam

M. Reza Sulaiman Suara.Com
Selasa, 03 Juni 2025 | 17:45 WIB
Krisis Iklim Mencuri Masa Depan: Generasi Muda Jadi Korban Utama Bencana Alam
Sejumlah massa melakukan aksi unjuk rasa di depan Kantor Komnas HAM tentang krisis iklim. [Suara.com/Alfian Winanto]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Krisis iklim tidak hanya menciptakan bencana alam dalam skala besar, tetapi juga meninggalkan warisan kerugian yang mendalam bagi generasi mendatang.

Laporan terbaru dari Badan Pengurangan Risiko Bencana Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDRR) mengungkap bahwa dunia selama ini secara sistematis meremehkan dampak lingkungan, sosial, dan ekonomi dari bencana alam.

Beban tersembunyi yang ditimbulkan oleh peristiwa seperti banjir, gempa bumi, dan tanah longsor kini ditaksir mencapai 2,3 triliun dolar Amerika Serikat (AS) per tahun—sepuluh kali lipat dari estimasi sebelumnya.

“Peristiwa-peristiwa tersebut memengaruhi kita semua,” kata Jenty Kirsch-Wood, Kepala Analisis Risiko Global UNDRR, melansir UN News, Selasa (3/6/2025).

Ia menegaskan bahwa dampak bencana tidak hanya terlihat pada infrastruktur yang rusak, tetapi juga pada kesempatan hidup yang hilang, khususnya bagi anak-anak dan remaja. Ketika layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan terputus akibat bencana, generasi muda kehilangan pondasi penting untuk berkembang secara optimal.

Risiko Masa Depan yang Membesar

Salah satu temuan paling mencemaskan dari laporan UNDRR adalah bagaimana risiko bencana terus meningkat bagi generasi penerus. Anak yang lahir pada tahun 2025, misalnya, memiliki kemungkinan sebesar 86 persen untuk mengalami banjir katastrofik dalam hidupnya—jauh lebih tinggi dibandingkan 63 persen bagi mereka yang lahir pada tahun 1990.

Ini mencerminkan tren yang memburuk: dunia tidak hanya menghadapi bencana yang lebih sering dan parah, tetapi juga mewariskan risiko tersebut kepada generasi yang belum sempat menyumbangkan apapun terhadap krisis iklim global.

Kerugian yang Tidak Terlihat dan Tidak Tertangani

Baca Juga: Penampakan Sampah Penuhi Saluran Irigasi di Serang

Kerusakan yang diakibatkan oleh bencana tidak berhenti pada bangunan runtuh atau lahan pertanian yang terendam. Dalam banyak kasus, kerugian tersembunyi justru terjadi dalam bentuk putusnya pendidikan, memburuknya kesehatan mental anak-anak, dan hilangnya masa produktif keluarga muda yang terpaksa mengungsi atau kehilangan pekerjaan.

“Ini adalah respons kemanusiaan yang tidak berkelanjutan,” tambah Kirsch-Wood.

Negara-negara yang sudah rentan semakin terjebak dalam lingkaran utang dan kemiskinan karena harus membayar mahal untuk pemulihan, sementara kesempatan membangun masa depan berkelanjutan kian tipis.

Sejumlah peserta membawa poster saat aksi krisis iklim di depan Kantor KPU, Jakarta, Jumat (3/11/2023). [Suara.com/Alfian Winanto]
Sejumlah peserta membawa poster saat aksi krisis iklim di depan Kantor KPU, Jakarta, Jumat (3/11/2023). [Suara.com/Alfian Winanto]

Kesenjangan yang Semakin Melebar

Laporan ini juga menunjukkan bahwa kerugian akibat bencana sangat tidak merata. Negara maju mungkin mengalami kerugian dalam jumlah besar secara absolut, tetapi beban terhadap ekonomi mereka relatif kecil.

Sebaliknya, negara-negara kecil dan berkembang harus menanggung dampak yang secara proporsional jauh lebih besar. Mikronesia, misalnya, hanya mencatat kerugian sebesar 4,3 miliar dolar AS pada 2023, namun itu setara dengan 46,1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) mereka.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI