Suara.com - Perubahan iklim kerap diasosiasikan dengan bencana alam, kekeringan, atau naiknya permukaan laut. Namun, di balik semua itu, ada dampak yang jarang dibicarakan: meningkatnya risiko kekerasan terhadap anak.
Tanpa disadari, perubahan iklim menekan banyak aspek kehidupan keluarga dan masyarakat, yang akhirnya memicu berbagai bentuk kekerasan terhadap kelompok paling rentan ini.
Bagaimana sebenarnya hubungan antara krisis iklim dan kekerasan anak di Indonesia?
Migrasi, Tekanan Ekonomi, dan Risiko Kekerasan Anak
Menurut Ivan Tagor Manik, Senior Program Specialist di ChildFund International di Indonesia salah satu pemicu utama kekerasan anak terkait perubahan iklim adalah migrasi ekonomi.
Studi yang dilakukan ChildFund di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, menemukan bahwa banyak orang tua terpaksa meninggalkan kampung halaman akibat lahan pertanian yang tak lagi produktif.
Mereka berpindah ke wilayah baru, bahkan lintas pulau, demi mencari nafkah.
“Bentuk kekerasan itu tidak hanya fisik. Penelantaran anak juga termasuk. Ketika orang tua merantau, anak-anak mereka sering kali ditinggal tanpa pengasuhan memadai — entah bersama kakek-nenek atau bahkan tanpa pengawasan sama sekali,” jelas Ivan saat ditemui di Bekasi, Selasa (17/6/2025).
Lebih lanjut, situasi ini membuat anak menjadi prioritas kesekian dalam keluarga.
Baca Juga: Gelombang Panas di Arktik Pecahkan Rekor, Naik 3 Derajat Celsius Akibat Perubahan Iklim
Mereka kerap putus sekolah, mengalami tekanan mental, bahkan terpapar risiko kekerasan verbal atau fisik akibat stres ekonomi orang tua yang meningkat.
“Perubahan iklim menyebabkan pola hidup masyarakat terganggu. Hubungan suami-istri bisa renggang karena terpisah jarak jauh, pengasuhan jadi tidak optimal, anak pun menjadi korban yang tidak tampak secara langsung,” tambah Ivan.
Solusi: Penguatan Keluarga dan Peran Pemuda

ChildFund International di Indonesia tak tinggal diam. Mereka menjalankan program ketahanan keluarga, pelatihan keterampilan kerja bagi pemuda, serta parenting positif untuk mencegah dampak lebih lanjut.
Salah satu inisiatif menarik adalah pelatihan “kelas ayah”, di mana para ayah — yang biasanya jarang terlibat langsung dalam pengasuhan — didorong untuk aktif merawat anak.
“Selama ini pengasuhan anak identik dengan ibu. Padahal ayah juga punya tanggung jawab besar. Kami ingin menciptakan figur ayah yang peduli, hadir, dan suportif meski di tengah tekanan ekonomi,” jelas Ivan.
Tak hanya orang tua, kakek-nenek yang kerap menjadi caregiver juga dibekali pelatihan khusus tentang pengasuhan positif.
“Di banyak kasus, anak-anak yang ditinggal merantau diasuh kakek-nenek yang belum tentu paham soal kebutuhan perkembangan anak masa kini. Melalui program ini, kami ingin melengkapi mereka dengan pengetahuan yang relevan,” tambahnya.
Krisis Iklim Adalah Krisis Anak
Bagi ChildFund International di Indonesia, perubahan iklim bukan lagi sekadar isu lingkungan, tapi juga isu anak. Hal ini ditegaskan oleh Meinrad Indra Cahya, Senior Proram Speialist ChildFund International di Indonesia.
“Perubahan iklim tidak bisa hanya dilihat dari aspek lingkungan saja. Ia menyentuh kesehatan, pendidikan, bahkan perlindungan anak. Jika orang tua kehilangan sumber penghasilan akibat gagal panen atau nelayan tak bisa melaut, anak-anaklah yang pertama terdampak. Kami melihat ini sebagai tantangan holistik yang perlu dijawab bersama,” kata Meinrad.
Karena itu pula, ChildFund mengembangkan berbagai program berbasis aksi iklim dan pemberdayaan pemuda, alah satunya GLOW (Green Leaders for Our Well-Being) Ambassador.
Melalui inisiatif ini, ChildFund berharap kan tercipta pemimpin-pemimpin muda baru yang bergerak di isu lingkungan, terutama di aksi iklim Untuk memberikan pemahaman, awareness, dan kesadaran kepada masyarakat tentang kehidupan yang harus diubah, mulai dari gaya hidup sampai hal kecil yang mungkin dilakukan sebagai sebuah kebiasaan yang tidak baik.
"Kita memanfaatkan bonus demografi yang ada di Indonesia, karena saat ini usia produktif yang ada di Indonesia, terutama adalah orang muda," kata Meinrad mengenai alasannya memilih orang muda untuk menjadi agen perubahan.
ChildFund berharap upaya ini dapat mencegah lingkaran setan kemiskinan, migrasi, dan kekerasan terhadap anak akibat perubahan iklim. Dengan memberdayakan keluarga dan komunitas, risiko ini bisa ditekan.
“Ini bukan solusi instan. Butuh komitmen jangka panjang, kolaborasi lintas sektor, dan dukungan dari semua pihak agar anak-anak Indonesia tumbuh di lingkungan yang aman dan sehat, meski dunia sedang menghadapi tantangan perubahan iklim,” pungkas Ivan.
Perubahan iklim bukan hanya soal es yang mencair di kutub atau naiknya air laut, tapi juga tentang masa depan anak-anak Indonesia. Melalui pendekatan menyeluruh dan melibatkan semua elemen masyarakat, harapan untuk masa depan yang lebih baik tetap terbuka lebar.