Kolaborasi Jadi Kunci Wujudkan Hunian Hijau, Jalan Tengah Menuju Net Zero

Jum'at, 11 Juli 2025 | 13:30 WIB
Kolaborasi Jadi Kunci Wujudkan Hunian Hijau, Jalan Tengah Menuju Net Zero
Ilustrasi rumah dengan motif kayu. (Freepik)

Suara.com - Ketika kita berbicara tentang rumah, kita berbicara bukan hanya soal tempat berlindung, melainkan juga tentang hak dasar warga negara, simbol kesejahteraan, dan cerminan keberlanjutan suatu bangsa.

Tantangan untuk menyediakan hunian yang layak dan terjangkau di Indonesia masih sangat besar. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, backlog perumahan nasional tercatat mencapai 9,9 juta rumah tangga sebuah angka yang menunjukkan bahwa hampir sepuluh juta keluarga Indonesia belum memiliki akses terhadap tempat tinggal yang memadai.

Merespons kondisi ini, pemerintah meluncurkan inisiatif strategis Program Tiga Juta Rumah yang mengintegrasikan skema pembiayaan seperti Kredit Pemilikan Rumah Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (KPR FLPP) hingga pembiayaan mikro perumahan. Program ini menjadi angin segar, membuktikan bahwa negara hadir untuk menjawab kebutuhan masyarakat akan hunian. Namun, inisiatif ini membawa pertanyaan baru yang tak kalah penting: bagaimana dampak lingkungan keberlanjutan dari rumah yang dibangun?

Pembangunan hunian dalam skala besar tentu berdampak pada lingkungan. Data dari United Nations Environment Programme (UNEP) tahun 2023 menunjukkan bahwa sektor bangunan menyumbang sekitar 37% dari total emisi gas rumah kaca global. Angka yang sebagian besar berasal dari konsumsi energi untuk operasional bangunan.

Indonesia bukan pengecualian. Menurut International Energy Agency (IEA), sektor bangunan menyumbang 23% dari konsumsi energi final di Indonesia pada tahun 2021, dan diperkirakan akan meningkat menjadi 40% pada tahun 2030. Dari angka ini, sektor hunian justru menyerap 83% dari total konsumsi energi bangunan, hal ini dapat dijadikan titik strategis dalam dalam rangka upaya dekarbonisasi nasional.

Dengan latar belakang ini, rumah hijau, hunian yang efisien secara energi dan ramah lingkungan, bukan lagi sekadar pilihan idealis, melainkan kebutuhan yang semakin mendesak. Apalagi Indonesia telah menyepakati komitmen Paris Agreement: mencapai Net Zero Emission pada tahun 2060 serta pemenuhan Nationally Determined Contribution (NDC) terbaru terkait menurunkan emisi sebesar 31,9% secara mandiri (dan 43,2% dengan dukungan internasional) pada tahun 2030. Tanpa peran aktif sektor perumahan, target ini bisa jadi sulit tercapai.

Efek Domino Tantangan Hunian Hijau
Namun, realisasi hunian hijau di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan yang saling berkaitan. Biaya pembangunan rumah hijau yang relatif lebih mahal, sekitar 10–15% lebih tinggi dibandingkan rumah konvensional, membuatnya kurang menarik bagi pengembang dan calon penghuni.

Di sisi lain, minimnya skema pembiayaan khusus yang cukup ideal, masih belum memberikan dampak signifikan untuk menutup gap tersebut. Dengan kata lain, ekosistem pendukung hunian hijau belum terbentuk secara utuh.

Kondisi ini juga mencerminkan bahwa kerangka kebijakan yang mendukung konstruksi rendah karbon masih dalam tahap pertumbuhan. Selama ini, kebijakan lingkungan nasional memang sudah banyak berfokus pada sektor energi dan transportasi, dua sektor besar yang kontribusinya terhadap emisi relatif lebih terekspos. Padahal, sektor perumahan, meski lebih tersebar dan sama-sama kompleks, memiliki potensi dampak yang tak kalah besar.

Baca Juga: Investasi Swasta Jadi Kunci Indonesia Capai Target Net Zero Emission

Lebih dari itu, ada tantangan mendasar di tingkat kesadaran. Belum banyak masyarakat yang menyadari bahwa hunian tempat mereka tinggal sehari-hari adalah salah satu sumber emisi yang besar. Hal ini pun berdampak pada rendahnya permintaan publik untuk mendorong regulasi atau insentif yang lebih progresif di bidang perumahan hijau. Tanpa dorongan dan komunikasi yang masif, pengembangan kebijakan bisa berjalan layaknya perahu tanpa angin di tengah laut.

Kolaborasi adalah Kunci
Maka, untuk menjawab tantangan ini, dibutuhkan pendekatan yang menyeluruh dan kolaboratif. Pertama, literasi publik tentang hunian hijau perlu diperkuat melalui kampanye edukasi, baik oleh pemerintah, akademisi, media, maupun pelaku industri. Informasi yang tepat dapat mengubah persepsi dan menciptakan permintaan yang lebih tinggi terhadap hunian berkelanjutan.

Kedua, perlu ada dorongan advokasi kebijakan yang terstruktur kepada pemangku kepentingan, baik di sektor publik maupun swasta. Inisiatif seperti pengembangan green mortgage, green bonds, insentif, hingga penyusunan standar nasional bangunan hijau khusus untuk hunian adalah beberapa langkah yang dapat mempercepat transisi ini.

Indonesia tidak kekurangan semangat maupun kapasitas. Yang dibutuhkan adalah sinergi antara visi jangka panjang dan solusi nyata di lapangan. Menjadikan hunian hijau sebagai arus utama bukanlah perkara satu malam, namun perjalanan ini bisa dimulai dari sekarang dengan keberanian dan langkah untuk berpikir lebih hijau, serta tekad untuk membangun bukan hanya rumah, tapi juga masa depan yang berkelanjutan. (Aldino Adi Sinatra) ***

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI