Suara.com - Hukum hamil di luar nikah menurut agama Katolik turut dibicarakan di tengah pengakuan Erika Carlina terkait kehamilannya.
Kabar ini memang cukup mengejutkan, terlebih Erika menyebutkan bahwa kehamilannya sudah memasuki bulan ke-9 dan akan melahirkan di awal bulan Agustus.
Jadi, hamil sudah sembilan bulan. Dan ini belum banyak yang tahu ya?” ujar Deddy Corbuzier dalam kanal YouTube-nya untuk meyakinkan pernyataan Erika sebelumnya.
“Ini kesalahan aku, om. Aku cuma pengen jujur aja” jawab Erika Carlina.
Tanpa membenarkan kejadian yang menimpanya, Erika mengaku bahwa ia tahu siapa anak ayah itu.
Namun, ia memilih untuk menolak ketika ayah anak kandungnya tersebut ingin tanggung jawab karena pria tersebut sudah punya anak dari hubungan sebelumnya.
Lantas, bagaimana sebenarnya hukum hamil di luar nikah menurut agama Erika Karlina yang merupakan seorang Katolik? Berikut informasinya.
Apa Hukum Hamil di Luar Nikah Menurut Agama Katolik?
Jurnal Hukum Magnum Opus Volume 6 Nomor 2 (2023) menyebutkan bahwa persetubuhan sebelum pernikahan tergolong sebagai perzinahan.
Baca Juga: Erika Carlina Diduga Diancam DJ Panda, Fuji Pasang Badan: Kariermu Tak Akan Hancur
Gereja Katolik menegaskan keutamaan dan kewajiban moral pada laki-laki dan perempuan adalah sama, yakni menjaga kesuciannya masing-masing.
Keperawanan pada dasarnya perlu dijaga oleh kedua belah pihak hingga pada waktunya akan saling dipersembahkan dalam ikatan pernikahan yang sah.
Gereja Katolik melihat seks dalam kerangka keseluruhan diri manusia yakni seksualitas. Itu sebabnya relasi seksual tidak dilihat sebatas tindakan biologis semata, tetapi mengandung arti pribadi yang menyeluruh.
Saat terjadi relasi seksual, yang sesungguhnya diberikan oleh masing-masing pribadi adalah keseluruhan pribadi bukan hanya sekedar tindakan seks saja
Lantas, apakah orang yang hamil di luar nikah sebaiknya segera menikah.?
Masih dari sumber yang sama disebutkan bahwa pernikahan yang tidak dipersiapkan secara matang punya potensi lebih besar mengalami permasalahan di kemudian hari.
Situasi ini cukup erat kaitannya dengan kehamilan di luar nikah.
Sebelum ada komitmen dan kesadaran untuk bertanggung jawab terhadap pasangan, pria dan wanita masih berpusat pada egonya masing-masing.
Demikianlah ketika terjadi kehamilan di luar nikah, tindakan pernikahan kemungkinan besar dilandasi oleh ego yang berorientasi pada penyelesaian persoalan saja.
Pernikahan mungkin hanyalah upaya untuk menutup aib keluarga dan menyelamatkan diri dari rasa malu karena penghakiman sosial.
Kehamilan di luar nikah terjadi karena relasi seksual pranikah. Ini pertama-tama adalah persoalan moral, bukan persoalan hukum.
Akan tetapi persoalan moral ini memiliki kaitan dengan persoalan hukum terutama berkenaan dengan kelayakan publik dan status legal anak di dalam kandungan.
Dalam keadaan demikian, pasangan yang hamil di luar nikah, perlu mengadakan diskusi persuasif agar dapat dicapai sebuah keputusan yang bebas dan tanpa paksaan demi kebaikan bersama.
Anak yang dilahirkan dari situasi hamil di luar nikah, tetap perlu mendapatkan hak-haknya sesuai tujuan pernikahan yang digariskan oleh Gereja Katolik.
Dalam hal ini, hak-hak tersebut perlu dipenuhi dan diupayakan layaknya anak yang lahir dalam legalitas pernikahan pada umumnya.
Gereja Katolik percaya dan mengakui bahwa semua kehamilan diberkati oleh Tuhan. Semua anak berhak mendapatkan cinta, perhatian, rasa hormat, dan perlindungan sebesar mungkin dari masyarakat, negara, dan individu terlepas dari asal usul atau status perkawinan orang tua mereka.
Dengan kata lain, setiap kehamilan harus dilindungi, setiap anak harus diterima dalam kehidupan, dan setiap anak harus dirawat dan dirayakan.
Dengan kata lain tidak ada dampak moral bagi anak sejak dalam pembuahan ketika hal itu terjadi karena relasi seksual di luar nikah.
Akan tetapi dampak secara psikologis dan sosial tetap perlu diperhatikan, karena persoalan anak tidak sebatas kelahiran tetapi juga pendidikan dan tumbuh kembangnya.
Kontributor : Hillary Sekar Pawestri