Suara.com - Di lemari sepatu setiap orang, di antara tumpukan tren sesaat dan sepatu formal yang jarang tersentuh, hampir selalu ada satu kepastian, sepasang sepatu kanvas yang usang.
Dan kemungkinan besar, sepatu itu adalah Converse Chuck Taylor atau Vans Old Skool.
Ini bukan sekadar pilihan alas kaki, namun sebuah keputusan yang seringkali mendefinisikan diri selama bertahun-tahun.
Selama lebih dari setengah abad, dua raksasa ini telah bertarung dalam duel sunyi di jantung kultur anak muda.
Mereka lahir dari dunia yang berbeda—satu dari lapangan basket, satu lagi dari kolam renang kosong California.
Namun keduanya diadopsi oleh musik, seni, dan pemberontakan untuk menjadi lebih dari sekadar sepatu. Mereka adalah seragam bagi subkultur.
Jadi, di manakah letak kesetiaan Anda? Mari kita bedah DNA keduanya untuk memahami mengapa duel ini jauh lebih dalam dari sekadar perdebatan soal sol karet.

Converse – Sang Seniman Individualis
Lahir pada tahun 1917 sebagai sepatu basket, Chuck Taylor adalah sang original. Namun keabadiannya justru lahir ketika ia "dibajak" dari lapangan. Para punk rocker di CBGB seperti The Ramones, para seniman di Soho, dan ikon grunge seperti Kurt Cobain mengubahnya menjadi simbol anti-kemapanan.
Baca Juga: Pensiunkan 90 Persen Sepatumu? Cuma 3 Pasang Ini yang Benar-Benar Kamu Butuhkan
Converse adalah kanvas kosong. Desainnya yang simpel seolah mengundang pemiliknya untuk mempersonalisasinya—dicoret-coret dengan spidol, dibiarkan robek, atau diganti talinya. Memakai
Converse adalah sebuah pernyataan individualisme. Anda adalah seorang seniman, seorang musisi, seorang pemikir yang berdiri sendiri.
Vibe: Klasik, artistik, sedikit melankolis, dan intelektual. Ia terasa seperti New York di malam hari atau Seattle saat gerimis.
Model Ikonik: Chuck Taylor All-Star (si original yang tak lekang waktu) dan Chuck 70 (versi premium dengan material lebih baik dan kenyamanan ekstra, favorit para sneakerhead).
Vans – Kru Skate yang Solid
DNA: Lahir pada 1966 di Anaheim, California, Vans diciptakan untuk dan oleh para skater. Sol karetnya yang lengket (Waffle Sole) dan konstruksinya yang tangguh dirancang untuk bertahan dari siksaan di atas papan. Vans adalah denyut nadi dari kultur West Coast.
Jika Converse adalah tentang "aku", Vans adalah tentang "kita". Memakai Vans berarti Anda adalah bagian dari sebuah komunitas atau tribe.
Entah itu komunitas skate, punk rock, atau BMX, ada rasa solidaritas yang melekat. Logo "Off The Wall" bukan hanya slogan; itu adalah etos untuk hidup di luar batas bersama-sama.
Santai, pemberontak yang ceria, penuh energi, dan komunal. Ia terasa seperti California di sore hari atau riuhnya panggung Warped Tour.

Model Ikonik: Old Skool (dengan "Jazz Stripe" ikoniknya), Sk8-Hi (untuk perlindungan pergelangan kaki), dan Slip-On (simbol gaya santai yang effortless).
Putusan Akhir: Mana yang Lebih Abadi?
Inilah kebenarannya: keduanya sama-sama abadi, dan itulah yang membuat duel ini begitu menarik.
Mereka abadi bukan karena mengikuti tren, tetapi karena mereka menjadi tempat berlindung dari tren. Keduanya adalah pilihan aman yang selalu relevan.
Converse abadi karena ia adalah simbol individualisme yang tak lekang oleh waktu. Selama masih ada anak muda yang ingin mengekspresikan diri secara unik, Chuck Taylor akan selalu ada.
Vans abadi karena ia adalah simbol komunitas yang kuat. Selama masih ada subkultur yang terbentuk dari minat bersama, Vans akan menjadi seragam kebanggaan mereka.
Pada akhirnya, pertanyaan sebenarnya bukanlah "mana yang lebih baik?", melainkan "kamu itu orang yang seperti apa?".
Apakah kamu seorang seniman penyendiri yang menggambar di buku sketsa, atau anggota kru yang tertawa bersama teman-teman di skate park? Pilihan sepatumu mungkin sudah menjawabnya sejak lama.
Sekarang giliran Anda. Tim Vans atau Tim Converse? Dan yang lebih penting, kenapa?
Ceritakan di kolom komentar sepatu pertama Anda dan kenangan tak terlupakan yang melekat padanya!