Kritik yang paling banyak disuarakan kepada Merah Putih One for All adalah visual animasi yang kaku dan patah-patah, meski model 3D karakter sudah cukup baik.
Adegan aksi yang seharusnya menjadi jualan utama terasa kurang bertenaga. Gerakan karakter saat bertarung atau berlari dinilai tidak natural dan terasa seperti robot.
Publik merasakan sensasi patah-patah atau tidak mulus pada beberapa adegan mengindikasikan frame rate yang rendah. Hal ini sangat mengurangi kenikmatan visual, terutama pada adegan-adegan cepat.
Ekspresi wajah karakter saat berdialog atau berekasi juga terasa datar dan kurang hidup. Hal ini membuat penonton sulit untuk terhubung secara emosional dengan karakter yang ada di layar.
2. Desain Karakter Terlalu Generik
Meskipun ini bukan hal yang salah, desain Merah Putih One for All dianggap terlalu generik dan kurang memiliki identitas unik yang kuat.
Banyak warganet merasa tidak ada elemen desain yang benar-benar merepresentasikan keunikan budaya Indonesia.
Film ini secara tidak langsung mengundang perbandingan dengan tontonan sejenis yang sudah punya standar kualitas tinggi, baik dari segi cerita maupun efek visual.
3. Alur Cerita dan Dialog Terlalu Sederhana
Baca Juga: 7 Fakta AK-47, Senapan yang 'Nongol' di Film Merah Putih One for All
Meskipun target audiensnya mungkin adalah anak-anak, banyak netizen yang merasa alur cerita Merah Putih One for All terlalu klise dan mudah ditebak.
Formula yang disajikan juga sangat lurus tanpa ada bumbu konflik atau pengembangan karakter yang mendalam.
Dialog antarkarakter seringkali terasa kaku dan kurang natural, lebih seperti pembacaan naskah daripada percakapan yang mengalir.
4. Beban Ekspektasi dan Perbandingan dengan Animasi Lain
Kritik terhadap Merah Putih One for All tidak muncul di ruang hampa. Penonton Indonesia kini sudah memiliki standar yang lebih tinggi berkat karya-karya sebelumnya.
Ada harapan besar agar produk kreatif dalam negeri mampu bersaing. Ketika hasilnya dirasa belum maksimal, kekecewaan seringkali berubah menjadi kritik yang tajam, yang sebenarnya didasari oleh keinginan untuk melihat karya yang lebih baik lagi.