Suara.com - Akhir-akhir ini kita sering mendengar pembahasan soal royalti musik dan bahkan pajak fasilitas olahraga.
Mengenai masalah royalti musik, pembahasan itu menyangkut musik yang diputar di kafe, bioskop, hotel, dan bahkan di bus pariwisata.
Semua musik yang diputar di tempat-tempat tersebut akan dikenai royalti, alias para pemutar musik untuk tujuan komersil ini harus bayar.
Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) berperan mengumpulkan royalti tersebut. Lantas, apa itu LMKN?
Apa Itu LMKN?
![Ilustrasi royalti lagu [asb].](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/02/15/83751-ilustrasi-royalti-lagu.jpg)
LMKN adalah lembaga resmi yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Berdasarkan bunyi undang-undang tersebut, tugas LMKN adalah memastikan setiap pencipta lagu, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait mendapatkan imbalan yang layak setiap kali karya mereka digunakan secara komersial.
Bisa dibilang, LMKN adalah "pemburu royalti" yang bekerja bukan untuk diri sendiri, melainkan idealnya bekerja demi kepentingan para kreator musik di Indonesia.
Mekanisme ini diatur dalam peraturan yang ketat, mulai dari PP Nomor 56 Tahun 2021 hingga Permenkumham Nomor 9 Tahun 2022.
Semua ini bertujuan supaya sistem penarikan, penghimpunan, dan pendistribusian royalti berjalan rapi, transparan, dan adil.
Baca Juga: WAMI Gercep Minta Maaf ke Ari Lasso Soal Data Royalti, Badai Protes: Pilih Kasih Apa Gimana?
LMKN dan LMK, Bedanya Apa?
Seringkali orang bingung membedakan antara LMKN dan LMK. LMK atau Lembaga Manajemen Kolektif adalah badan hukum nirlaba yang diberi kuasa langsung oleh pencipta atau pemilik hak untuk mengelola hak ekonominya.
Mereka menghimpun dan mendistribusikan royalti, tapi sifatnya mewakili anggota mereka saja.
Sementara LMKN punya posisi sedikit berbeda. Ia merupakan lembaga bantu pemerintah non-APBN yang menjadi koordinator besar semua LMK.
LMKN bukan hanya menarik royalti untuk anggota LMK, tapi juga untuk pencipta atau pemilik hak yang belum bergabung di LMK mana pun.
Jadi kalau ada karya dipakai secara komersial dan pemiliknya belum punya perwakilan di LMK, LMKN tetap punya kewenangan untuk memungut royaltinya.
Kapan Harus Bayar Royalti?
Menurut aturan, setiap penggunaan lagu atau musik untuk kepentingan komersial wajib membayar royalti. Bentuk penggunaannya luas, antara lain:
- Konser dan pertunjukan musik
- Restoran, kafe, bar, pub, bistro, kelab malam, dan diskotek
- Seminar atau konferensi komersial
- Pemutaran musik di bioskop
- Layanan transportasi seperti pesawat, bus, kereta, atau kapal laut
- Pameran, bazar, dan acara serupa
Jadi, kalau kita buka usaha kafe dan sering memutar playlist musik hits untuk menarik pengunjung, kita sebenarnya wajib membayar royalti melalui LMKN.
Tiga Proses Utama Pengelolaan Royalti
Sistem yang dijalankan LMKN punya tiga tahap besar, antara lain:
1. Penarikan Royalti
LMKN memungut royalti dari pengguna musik yang sifatnya komersial. Ini berlaku untuk pencipta atau pemegang hak yang menjadi anggota LMK maupun yang tidak.
2. Penghimpunan Royalti
Setelah dipungut, royalti disimpan di rekening LMKN. Besaran yang menjadi hak setiap LMK ditentukan lewat koordinasi dan perhitungan yang adil.
3. Pendistribusian Royalti
Dana yang terkumpul dibagikan kepada pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait melalui LMK, berdasarkan data penggunaan yang terekam di Sistem Informasi Lagu/Musik (SILM). Sebagian dana juga digunakan untuk operasional dan dana cadangan.
Menariknya, LMKN juga menyediakan mekanisme mediasi jika terjadi perselisihan terkait pembagian royalti.
Jadi, kalau ada pihak yang merasa pembagiannya tidak sesuai, mereka bisa mengajukan penyelesaian melalui LMKN.
Kenapa Harus Ada LMKN?
Bayangkan kalau seorang pencipta lagu harus menagih royalti sendiri ke setiap kafe, event organizer, atau stasiun TV yang memakai lagunya.
Mustahil dilakukan secara efektif, apalagi kalau karyanya diputar di banyak tempat sekaligus. LMKN hadir untuk mempermudah proses ini, mengurangi biaya penagihan, dan memastikan pembayaran dilakukan secara legal.
Selain itu, keberadaan LMKN membuat pelaku usaha lebih praktis saat ingin mendapatkan izin memutar atau menggunakan musik.
Cukup urus perizinan dan pembayaran ke LMKN, lalu semua hak pencipta yang lagunya digunakan akan otomatis terhitung.
Belajar dari Luar Negeri
Pengelolaan royalti bukan hanya isu di Indonesia. Di Eropa, misalnya, ada banyak lembaga manajemen kolektif yang bekerja dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Perancis, Jerman, Inggris, dan Swedia punya sistem yang berbeda-beda, tapi tujuannya sama yaitu melindungi hak para kreator.
Di Amerika Serikat, ada lembaga seperti Harry Fox Agency untuk mengurus royalti penerbit musik, serta badan lain yang fokus pada hak pertunjukan atau rekaman.
Belajar dari praktik di negara lain, Indonesia sedang berusaha memperbaiki sistemnya. LMKN bersama LMK diharapkan bisa menjadi pilar yang menjaga keseimbangan antara kepentingan kreator dan pengguna musik.
Ini berarti isu royalti bukan sekadar uang. Ini adalah bentuk penghargaan atas kerja keras dan kreativitas.
Di era digital, musik bisa diakses dengan sangat mudah. Tapi justru di sinilah pentingnya sistem yang menjamin pencipta tetap mendapat haknya.
LMKN berperan memastikan aliran royalti tidak macet dan setiap pihak mendapatkan bagian sesuai kontribusinya.
Pada akhirnya, kerja LMKN memang terlihat seperti "sibuk mengejar royalti". Tapi kalau kita pahami, kesibukan itu bukan demi keuntungan pribadi, melainkan demi keberlangsungan hidup para musisi, pencipta lagu, dan semua pihak yang terlibat dalam industri musik.
Tanpa sistem ini, kreativitas bisa jadi kurang dihargai, dan industri musik akan kesulitan berkembang. Tapi juga diharapkan bersih dari korupsi supaya tujuan mulia dari visi misi keberadaan organisasi LMKN terwujud nyata.
Demikian itu penjelasan apa itu LMKN yang konon sedang sibuk banget ngejar royalti. Semoga bisa dimengerti.
Kontributor : Mutaya Saroh