Seiring dengan perubahan regulasi, pada 17 April 2015 WAMI beralih menjadi perkumpulan nirlaba dan resmi beroperasi mulai 1 Agustus 2015.
WAMI memiliki visi untuk menjadi LMK pencipta lagu/musik terdepan yang menjunjung kredibilitas, transparansi, akurasi, dan akuntabilitas.
WAMI bertujuan mengelola operasional LMK sesuai hukum nasional, memastikan kesejahteraan anggota secara proporsional, membangun mekanisme distribusi royalti yang transparan, dan mengembangkan sistem TI yang kredibel di tingkat internasional.
WAMI juga menjalin kerja sama dengan lembaga pemerintahan, asosiasi profesi, dan badan internasional terkait.
Sebagai LMK yang berfokus pada anggotanya, WAMI mengurus royalti secara independen, meskipun tetap berafiliasi dengan LMKN dalam hal pemungutan dan distribusi royalti.
Singkatnya, WAMI fokus memberikan layanan langsung kepada musisi dan pencipta lagu yang tergabung sebagai anggotanya.
Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN)

Berbeda dari WAMI, LMKN adalah lembaga pendukung pemerintah yang tidak menggunakan dana APBN dan dibentuk oleh Menteri Hukum dan HAM berdasarkan Undang-Undang Hak Cipta.
LMKN berada di bawah pengawasan langsung Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI).
Baca Juga: Takut Sanksi Pidana dan Denda, Hotel di Mataram Terpaksa Harus Bayar Royalti
Fungsi utama LMKN adalah menghimpun, menarik, dan mendistribusikan royalti kepada pencipta lagu, pemilik musik, dan pihak terkait.
Keanggotaan LMKN terdiri dari perwakilan LMK, LMK Hak Terkait, perwakilan pemerintah, serta pencipta dan pemilik karya.
Dengan struktur tersebut, LMKN memiliki fungsi yang lebih luas dan bersifat koordinatif, sekaligus memastikan pengelolaan royalti di Indonesia sesuai hukum dan standar internasional.
Apa Perbedaan WAMI dan LMKN?
Perbedaan utama antara WAMI dan LMKN terletak pada ruang lingkup dan fungsi operasionalnya.
WAMI berfokus pada pengelolaan hak cipta musik anggotanya, termasuk distribusi royalti performing rights secara langsung.