Suara.com - Terkait dengan eskalasi yang belakangan terjadi di beberapa kota di Indonesia, isu penerapan darurat militer mulai muncul.
Namun demikian, masih banyak publik yang bertanya-tanya tentang beda darurat militer dan darurat sipil, serta apa dampak keduanya jika benar-benar diterapkan di Indonesia.
Dua istilah ini banyak dibicarakan di media sosial. Istilah tersebut umum muncul ketika situasi semakin kacau serta menimbulkan kerugian untuk banyak pihak.
Namun sebenarnya apa arti keduanya? Apakah dua istilah ini memiliki makna yang serupa atau justru benar-benar berbeda dari segi konsep dan penerapan?
Memahami Beda Darurat Militer dan Darurat Sipil
1. Darurat Militer
Status darurat militer merupakan kondisi luar biasa ketika keamanan dan kedaulatan negara berada dalam ancaman yang sangat serius.
Hal ini bisa terjadi karena serangan dari luar, pemberontakan bersenjata, hingga situasi yang mengancam keutuhan NKRI.
Dalam kondisi tersebut, TNI akan memegang kendali utama pemerintahan terkait keamanan dan ketertiban nasional. Ketika diterapkan, maka wewenang pihak militer akan menjadi sangat luas.
Baca Juga: Apakah Indonesia Pernah Darurat Militer? Kerusuhan saat Ini Disebut Bagian Skenario
Militer dapat melakukan penangkapan, penggeledahan, penyitaan, pembatasan pergerakan, hingga pengendalian arus informasi di masyarakat. Aparat sipil (polisi dan pemerintah daerah) kemudian akan berada di bawah komando militer.
Kondisi ini pernah diterapkan di Indonesia pada konteks GAM di Aceh, tahun 2003 silam. Pemerintah menganggap konflik bersenjata dengan Gerakan Aceh Merdeka tidak dapat ditangani melalui pendekatan sipil, dan harus diatasi dengan status darurat militer di area tersebut.
2. Darurat Sipil
Di sisi lain, darurat sipil merupakan kondisi ketika ketertiban umum sudah terganggu. Namun, kondisi ini masih dalam batas yang dapat dikendalikan oleh pemerintah sipil dengan kewenangan khusus yang diberlakukan.
Kepala daerah atau pejabat sipil tetap berada dalam tampuk kepemimpinan, sementara aparat TNI dan Polri dapat dikerahkan untuk memberikan bantuan guna melakukan penertiban yang diperlukan.
Pada kondisi ini, pemerintah dapat memberlakukan jam malam, membatasi pergerakan, melakukan sensor informasi, hingga melarang pertemuan publik. Akan tetapi kewenangan darurat sipil lebih terbatas dibandingkan dengan darurat militer.
Kondisi ini pernah diterapkan di Maluku dan Poso pada era 1990-an hingga awal 2000,0an, ketika konflik komunal memuncak di daerah tersebut.
Lalu Apa Imbasnya ketika Diterapkan?
Ketika diterapkan, keduanya membawa implikasi yang berbeda untuk masyarakat. Dalam konteks darurat sipil, masyarakat akan merasakan pembatasan aktivitas yang cukup signifikan.
Kontrol yang lebih ketat pada media sosial oleh pemerintah, pembatasan aksi unjuk rasa, hingga pembatasan mobilitas. Dalam konteks ini, pemerintahan sipil tetap berjalan sehingga demokrasi masih cenderung terjaga.
Pada konteks darurat militer, penerapannya akan mengubah banyak aspek dalam kehidupan masyarakat. Ruang demokrasi akan menyempit secara signifikan, kebebasan berpendapat bisa hilang, tidak ada kebebasan berkumpul, pergerakan yang dibatasi maksimal, dan sebagainya.
Peran militer akan lebih dominan dalam kehidupan sehari-hari, dan akan muncul potensi gesekan antara masyarakat dan militer jika kondisi tersebut tidak dijalankan secara cermat.
Alat Hukum Negara untuk Menghadapi Krisis
Kedua skenario ini sebenarnya merupakan alat hukum negara untuk berhadapan dengan krisis. Perbedaan utama terletak pada siapa yang memegang kendali penuh atas kondisi tersebut, serta seberapa jauh pembatasan pada kebebasan masyarakat.
Di Indonesia sendiri, penerapan skenarion tersebut jelas akan membawa pengaruh dan dinamika yang masif. Hal ini karena Indonesia sudah menjadi negara demokrasi sejak lama, yang menjamin banyak kebebasan warganya selama dalam koridor hukum yang berlaku.
Kontributor : I Made Rendika Ardian