Suara.com - Sri Mulyani Indrawati, salah satu figur paling berpengaruh dalam kabinet Indonesia selama lebih dari satu dekade, akhirnya mengakhiri masa jabatannya sebagai Menteri Keuangan (MenkeuP)
Posisinya kini digantikan oleh Purbaya Yudhi Sadewa setelah pelantikan yang digelar di Istana Kepresidenan pada Senin, 8 September 2025.
Meski dikenal dengan berbagai prestasi dan penghargaan internasional, perjalanannya tidak selalu mulus. Menjelang akhir masa baktinya, sejumlah kebijakan dan pernyataan Sri Mulyani memicu kontroversi tajam dan kemarahan publik.
Isu-isu ini menjadi perbincangan hangat dan dinilai berkontribusi pada dinamika politik yang berujung pada perombakan kabinet.
Berikut adalah empat kontroversi utama yang membayangi Sri Mulyani.
![Menkeu Sri Mulyani Indrawati. [Antara/Muhammad Iqbal]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/09/05/96534-sri-mulyani.jpg)
1. Peran di Balik Kenaikan Gaji Anggota DPR
Di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang dinilai semakin sulit, kabar kenaikan gaji dan tunjangan anggota DPR memicu gelombang protes besar di berbagai kota.
Publik menyoroti peran sentral Menteri Keuangan dalam setiap kebijakan yang berdampak pada anggaran negara.
Menurut Undang-Undang Keuangan Negara, setiap usulan kenaikan gaji pejabat harus melalui perhitungan dan persetujuan fiskal dari Kementerian Keuangan.
Baca Juga: Selain Pecat Sri Mulyani, Ini 4 Kementerian yang Kena Reshuffle Prabowo
Sri Mulyani, sebagai Bendahara Negara, dianggap memiliki andil besar dalam memberikan lampu hijau terhadap kebijakan ini. Tanpa rekomendasi dan alokasi anggaran darinya, kenaikan tersebut tidak mungkin terealisasi.
Hal ini menimbulkan persepsi bahwa ia lebih memprioritaskan kesejahteraan pejabat daripada kesulitan rakyat, sebuah ironi di tengah gencarnya pemerintah memungut pajak dari warganya.
2. Pernyataan Kontroversial Mengenai Gaji Guru dan Dosen
Sebuah pernyataan Sri Mulyani dalam sebuah forum di Institut Teknologi Bandung (ITB) turut menyulut polemik.
Sri Mulyani menyinggung keluhan masyarakat mengenai kecilnya gaji guru dan dosen, dan mempertanyakan apakah semua beban tersebut harus ditanggung oleh pemerintah atau masyarakat perlu ikut berpartisipasi.
Ucapan ini menuai kritik pedas karena dianggap sebagai cerminan sikap negara yang seolah ingin lepas tangan dari tanggung jawab konstitusional untuk mencerdaskan bangsa.