Suara.com - dr. Tan Shot Yen, seorang dokter dan ahli gizi yang dikenal vokal, baru-baru ini menjadi sorotan publik setelah mengkritik program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Kritiknya disampaikan dalam audiensi dengan Komisi IX DPR RI, di mana ia menyoroti pemilihan menu dan pendekatan program yang dinilai tidak sejalan dengan prinsip gizi seimbang.
Profil dan Perjalanan Pendidikan dr. Tan
Lahir di Beijing, Tiongkok, pada 17 September 1964, dr. Tan Shot Yen telah lama dikenal sebagai sosok yang berdedikasi tinggi dalam dunia kesehatan masyarakat.
Ia memulai pendidikan kedokterannya di Universitas Tarumanegara dan melanjutkan ke Universitas Indonesia.
Tak berhenti di sana, ia terus memperluas wawasannya dengan mengambil pendidikan pascasarjana di bidang instructional physiotherapy di Perth, Australia, serta mendalami studi penyakit menular seksual dan HIV/AIDS di Thailand.
Pendidikan non-medisnya di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, juga menunjukkan kedalaman pemikirannya yang melampaui bidang medis semata.
Sebagai seorang ahli gizi, dr. Tan secara konsisten mengedukasi masyarakat tentang pentingnya pola makan sehat berbasis pangan lokal.
Ia aktif menulis kolom di berbagai media massa dan telah menerbitkan sejumlah buku yang menjadi rujukan dalam topik gizi dan kesehatan.
Baca Juga: Makan Bergizi Gratis Jabar Dievaluasi Total Pasca Keracunan
Melalui platform-platform ini, ia mengadvokasi gaya hidup sehat dan pemahaman yang benar tentang nutrisi, menjadikannya salah satu suara terkemuka dalam isu-isu kesehatan di Indonesia.
Kritik Tajam terhadap Program Makan Bergizi Gratis (MBG)
Dalam audiensi di DPR, dr. Tan menyoroti beberapa kelemahan fundamental dalam program MBG. Salah satu kritiknya yang paling vokal adalah pemilihan menu.
Ia mempertanyakan menu seperti burger dan spageti, yang seringkali menjadi pilihan dalam program tersebut. Menurutnya, makanan ini termasuk kategori “ultra-processed food” (UPF) atau makanan ultra-olahan, yang kandungan nutrisinya rendah dan justru bisa menimbulkan masalah kesehatan dalam jangka panjang.
Dr. Tan berpendapat bahwa MBG seharusnya mengedepankan pangan lokal yang kaya gizi, yang secara alami tersedia di berbagai daerah.
Ia memberikan contoh-contoh spesifik, seperti kapurung di Sulawesi atau ikan kuah asam di Papua, yang tidak hanya kaya nutrisi tetapi juga mencerminkan kekayaan kuliner Indonesia.