Suara.com - Bakso adalah salah satu kuliner paling populer di Indonesia. Siapa pun pasti mengenal makanan berbentuk bulatan daging ini yang biasa disajikan dengan kuah hangat, mi, bihun, dan taburan bawang goreng.
Hampir di setiap sudut kota dari pedagang kaki lima hingga restoran besar, selalu ada penjual bakso dengan cita rasa khas daerah masing-masing.
Namun, di balik kelezatannya, ternyata bakso memiliki sejarah panjang dan menarik yang tak banyak diketahui orang. Seperti apakah asal usul makanan bakso di Indonesia, benarkah awalnya dari daging babi?
Asal-usul Makanan Bakso di Indonesia
Asal mula bakso berawal dari kisah di masa Dinasti Ming (1368–1644) di Tiongkok. Legenda menyebutkan ada seorang pemuda bernama Meng Bo yang ingin memasakkan makanan lembut untuk ibunya yang sudah tua dan tak bisa mengunyah daging.
Terinspirasi dari kue mochi yaitu camilan ketan yang ditumbuk hingga halus, Meng Bo pun menumbuk daging agar teksturnya lembut, kemudian membentuknya menjadi bulatan-bulatan kecil. Ia menyajikan hidangan itu dengan kuah kaldu hangat.
Siapa sangka, ide sederhana itu justru menjadi awal lahirnya makanan yang kemudian dikenal sebagai bakso. Hidangan buatan Meng Bo menyebar luas di kota Fuzhou dan sekitarnya. Banyak orang yang mencoba meniru resepnya karena rasa dan teksturnya unik. Seiring waktu, resep ini diwariskan dari generasi ke generasi dan menyebar ke berbagai wilayah di Tiongkok.
![Ilustrasi Bakso. [Gemini AI]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/11/05/72888-bakso.jpg)
Nama “bakso” sendiri berasal dari bahasa Hokkien, yaitu “Bak-So”, yang berarti daging giling. Saat itu, bahan utama yang digunakan oleh masyarakat Tiongkok adalah daging babi, yang diolah bersama bumbu dan tepung agar kenyal.
Ketika para pedagang Tiongkok datang ke Nusantara pada masa perdagangan maritim, mereka membawa serta kebiasaan dan kuliner dari negeri asal, termasuk bakso.
Baca Juga: Stop Boros Beli Makan Siang! Ini Panduan Meal Prep Anti-Ribet buat Anak Kantoran
Namun, karena mayoritas penduduk Nusantara beragama Islam dan tidak mengonsumsi babi, bahan utama bakso pun mengalami penyesuaian.
Para juru masak lokal mengganti daging babi dengan daging sapi, ayam, kambing, atau bahkan ikan. Kuahnya pun diberi tambahan rempah-rempah khas Indonesia seperti bawang putih, merica, dan pala, menjadikan cita rasanya semakin kuat dan berbeda dari versi aslinya di Tiongkok.
Perubahan atau penyesuaian dengan selera lokal itu menjadi contoh nyata akulturasi budaya kuliner. Dari makanan khas Tiongkok, bakso bertransformasi menjadi hidangan nasional yang diterima oleh berbagai kalangan.
Kini, hampir di setiap daerah di Indonesia memiliki varian bakso khas dengan keunikan masing-masing. Sebut saja:
- Bakso Urat dengan tekstur kenyal dan serat daging yang terasa kuat,
- Bakso Telur dengan isi telur di tengah,
- Bakso Ikan dan Bakso Udang yang populer di kawasan pesisir,
- Bakso Balungan dengan tulang kecil sebagai isiannya,
- Bakso Aci dari Garut yang berbahan dasar tepung tapioka.
Beberapa kota bahkan dikenal sebagai “Kota Bakso”, seperti Malang, Solo, Wonogiri, dan Karanganyar, karena banyaknya penjual bakso dan ragam resep khas yang berkembang di sana.
Daya tarik bakso pun tidak hanya pada rasanya, tetapi juga fleksibilitasnya. Bakso bisa dinikmati siapa saja, dari kalangan biasa hingga pejabat, dari pedagang kaki lima hingga restoran bintang lima.
Ada bakso murah meriah di gerobak pinggir jalan, tetapi juga ada bakso premium dengan daging wagyu atau isi keju dan truffle di restoran modern.
Di beberapa daerah, bakso bahkan dijadikan menu khas perayaan atau simbol kebersamaan. Misalnya, saat acara keluarga besar, kumpul komunitas, atau sekadar menjamu tamu. Tak heran jika banyak orang menganggap makan bakso bukan hanya soal rasa, tapi juga tentang hubungan sosial dan kehangatan.
Demikian itu asal usul makanan bakso di Indonesia. Jika di Tiongkok bakso identik dengan daging babi, di Indonesia ia menjadi simbol kuliner yang halal, beragam, dan menyatukan.
Perubahan bahan baku dari babi ke sapi dan yang lainnya bukan sekadar adaptasi terhadap budaya dan agama setempat, tetapi juga wujud kreativitas masyarakat Indonesia dalam mengolah kuliner asing menjadi milik sendiri.
Kontributor : Mutaya Saroh