Suara.com - Di Jakal KM 12,5, Dusun Pelem, RT, 4, RW 24, Harjobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta, berdiri tempat belajar Taman Kanak-Kanak yang berkonsep kekinian. Namanya Afkaaruna Islamic School.
Pembelajaran di sekolah yang menyatukan konsep keislaman, kelokalan dan keinternasionalan ini dilakukan dengan menyenangkan dan berbasis pengalaman (experiential based learning). Tujuannya untuk merangsang perkembangan sembilan aspek kecerdasan.
Kesembilan aspek meliputi kemampuan bahasa, matematis-logis, visual-spasial (memahami pandang ruang), fisik (motorik dan sensorik), musikal, sosio-emosional (intrapersonal dan interpersonal), lingkungan-alam, dan moral-spiritual, yang disesuaikan dengan minat dan tumbuh kembang anak.
Untuk mencapai tujuan tersebut, pembelajaran di sekolah TK ini akan menitikberatkan pada pentingnya berproses dan menekuni apa yang sedang dipelajari, dan bukan pada hasil.
Sekolah ini didirikan oleh ilmuwan yang dulu pernah menjadi wartawan yang meliput berita-berita kriminal dan politik daerah di Bekasi, Jawa Barat, dan istrinya. Mereka adalah Samsul Ma’arif Mujiharto dan Suci Hanifah Ma’arif. Arif saat ini kandidat doktor bidang Filsafat Terapan dan Etika Publik, Charles Sturt University, Australia, sedangkan Suci kandidat doktor bidang Farmasi Klinik di kampus yang sama.
Kepada Suara.com, Arif menceritakan bagaimana inspirasi mendirikan Afkaaruna Islamic School bersama istrinya.
"Awalnya, menjelang selesai sekolah S3 di Australia, kami berusaha mencarikan sekolah untuk anak kami (4,5) di Yogyakarta. Kami menginginkan sekolah internasional, Islami, namun juga respect dan mengambil inspirasi dari budaya lokal. Akan tetapi, kami belum menemukan sekolah yang sreg di hati. Saya akui semua sekolah bertujuan baik, namun yang pas dengan visi misi kami kok belum ada," kata Arif yang kini menjadi dosen Fakultas Filsafat di UGM, Yogyakarta.
Di sisi lain, ketika itu, Arif dan Suci juga mengalami kegelisahan, manakala kontribusi muslim terhadap ilmu pengetahuan belakangan semakin menurun.
Arif kemudian mengemukakan data, berdasarkan catatan fisikawan muslim Pakistan, Pervez Amirali Hoodbhoy, negara-negara muslim hanya memiliki sembilan ilmuwan dari 100 orang, kalah jauh dari negara non-muslim yang rata-rata memiliki 41 orang dari 100 orang.
"Salah satu yang menjadi pemicu ini adalah kemampuan berbahasa Inggris. Kami sendiri tertatih-tatih menjalani pendidikan di luar negeri juga karena hambatan bahasa. Kami merasa telat dalam belajar berbahasa Inggris. Karenanya, kami ingin, generasi mendatang bisa menikmati belajar berbahasa asing sejak dini agar mereka bisa mengakses ilmu pengetahuan, yang kebanyakan berbahasa Inggris, dengan baik dan akurat," kata Arif.
Pada saat yang sama, dia juga menyadari bahwa setiap manusia perlu tetap mengenal budaya lokal supaya tidak tercerabut dari jati diri bangsanya. Pengenalan pada budaya lokal, lingkungan (biotik dan abiotik) sekitar, dan keragaman budaya bangsa, diharapkan mampu meningkatkan rasa percaya diri, memupuk kecintaan pada tanah air, dan menumbuhkembangkan kesadaran dan sikap toleran.
Berangkat dari kegelisahan itu, Arif dan Suci kemudian bercerita kepada beberapa teman dan kebanyakan malah menyarankan untuk membuat sekolah seperti yang sudah lama dicita-citakan. Mereka mendukung dan memberikan banyak masukan kepada Arif dan Suci.
"Hingga akhirnya, kami memutuskan untuk membuat konsep sekolah yang menyinergikan tiga elemen utama: keislaman, kelokalan dan keinternasionalan. Kami berpendapat bahwa pendidikan pada anak harus berpegang teguh pada agama, berakar pada budaya lokal dan berinteraksi secara dinamis dengan dunia internasional. Dengan begitu, kami berharap, akan lahir generasi pembelajar yang berkeingintahuan tinggi (muhibbul ilmi), bersemangat, inovatif, berpegang teguh pada nilai keislaman, berwawasan internasional, dan menjunjung tinggi nilai-nilai budaya lokal," kata Arif.
Pembelajaran seperti apa?
Arif menjelaskan pembelajaran di Afkaaruna Islamic School berbasis experiential based learning.
Secara spesifik, pembelajaran terbagi menjadi intra dan ekstrakurikuler. Intrakurikuler meliputi kurikulum International Primary Curriculum yang disinergikan dengan kurikulum nasional dan kurikulum agama meliputi Ibadah dan Baca Tulis Al-qur’an.
Metode pembelajaran menggunakan model Beyond Centre and Circle Times yang dirancang dalam bentuk sentra belajar, meliputi: sentra ibadah, sentra persiapan, sentra bahasa, sentra perpustakaan, sentra rancang bangun, sentra bahan alam, sentra bermain peran, serta sentra sains dan teknologi informasi (Science Club). Selain itu, pembelajaran juga ditunjang oleh fasilitas outdoor untuk pengembangan fisik, pengenalan lingkungan, dan pengembangan keterampilan hidup (life skills development), seperti kebun, kolam ikan, pengelolaan sampah mandiri, dan kandang ternak.
Arif menambahkan ekstrakurikuler diselenggarakan berdasarkan minat dan bakat anak yang meliputi: agama (tahfidz, tilawah, adzan), seni berkomunikasi (MC dan bahasa Jawa kromo), seni musik tradisional (angklung, hadrah), seni rupa (kaligrafi, melukis), dolanan anak tradisional, dan olahraga.
Apa keunggulan komparatif dibanding PAUD lainnya, Arif menjelaskan bahwa sekolah yang didirikannya menawarkan pendidikan yang komprehensif, yang menyentuh aspek afektif, kognitif dan psikomotorik.
Selain itu, Afkaaruna Islamic School juga memberikan alternatif pendidikan yang komprehensif dengan memberikan penekanan pada keislaman, kelokalan, dan keinternasionalan.
Lebih jauh, ayah dari Tsurayya Nurul Ma’arif (4,5) dan Armidha Nurizza Ma’arif (2,5) itu menjelaskan siapa tim pengajar sekolahnya.
Tim pengajar merupakan ahli di bidangnya. Mereka profesional dengan latar pendidikan sarjana dan pascasarjana bidang bahasa dan sastra Inggris, agama Islam dan psikologi. Selain itu, para guru juga berlatar belakang pondok pesantren.
Saat ini, sekolah Islam internasional ini masih membuka pendaftaran murid baru. Pendaftaran dibuka 1 Maret sampai 25 Juni 2016.