Suara.com - Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf meminta agar kejaksaan agung menuntut seberat-beratnya para tersangka jaringan vaksin palsu, baik produsen maupun pengguna atau dokter serta bidan yang terlibat dalam kasus tersebut. Permintaan tersebut disampaikan oleh Politisi Demokrat tersebut karena sudah mendapatkan informasi bahwa bekas perkara para tersangka sudah dilimpahkan ke Kejagung.
"Kami meminta agar oknum (jaringan) vaksin palsu dituntut seberat-beratnya. Saya dengar, Bareskrim baru memasukan nama-nama tersebut ke Kejaksaan Agung," kata Dede Yusuf melalui keterangan persnya kepada wartawan, Rabu (21/09/2016) malam.
Sebanyak 25 orang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus peredaran vaksin Palsu, sejak Juli 2016. Puluhan tersangka itu merupakan produsen, distributor, pengepul botol vaksin bekas, pencetak label vaksin palsu, dokter dan bidan.
Kasus itu terbagi dalam empat berkas. Pada berkas pertama terdiri dari tujuh tersangka yaitu Rita Agustina, Hidayat Abdurrahman, Sutarman, Mirza, Suparji, Irna, dan Irmawati.
Berkas kedua, terdiri dari Sugiarti, Nuraini, Ryan, Elly, Syahrul, dokter I, dokter Harmon, dokter Dita.
Sementara itu, dalam berkas ketiga isinya tersangka Agus, Thamrin, Sutanto, dan dokter HUD.
Berkas keempat, terdiri dari Syahfrizal, Iin, Seno, M Farid, dokter Ade, dan Juanda.
Berkas pertama kali diserahkan Bareskrim ke Kejaksaan Agung pada 26 Juli 2016. Namun, hingga kini berkas kasus tersebut masih bolak-balik. Kejagung menyatakan, berkas belum lengkap.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri, Irjen Agus Riyanto mengatakan, berkas kasus vaksin palsu telah dua kali dikembalikan oleh Kejaksaan Agung.
"Berkas sudah kami kembalikan. (Pelimpahan berkas) Pertama kami sudah limpahkan dan dikoreksi (dari Kejaksaan Agung). Ada petunjuk (yang harus dilengkapi), dua minggu lalu sudah serahkan kembali," kata Agus.
Namun, Agus enggan membeberkan alasan bolak-baliknya berkas para tersangka kasus vaksin palsu.
Sementara itu, Direktur Tipideksus Bareskrim Polri Brigjen Agung Setya menyatakan adanya petunjuk jaksa bahwa berkas perkara yang semula empat agar dipisah menjadi 25 berkas.
"Berdasarkan petunjuk P-19 jaksa, berkas perkara diminta agar di-split menjadi 25 sesuai jumlah tersangka. Jadi dipisah masing-masing tersangka satu berkas," kata Agung Setya.
Untuk diketahui, jika berkas perkara dijadikan satu yang melibatkan semua jaringan dari pembuat vaksin palsu hingga pengguna (dokter dan bidan), maka akan terlihat jelas kejahatan para pelaku dalam satu kesatuan sehingga hukuman maksimal bisa diterapkan.
Namun, jika berkas dipisah masing-masing tersangka, maka penerapan hukuman tidak akan maksimal karena kejahatan dalam jaringan vaksin palsu tidak terlihat.