Buruh Media: Kurangi Jam Kerja, Perbanyak Bercinta

Senin, 01 Mei 2017 | 17:14 WIB
Buruh Media: Kurangi Jam Kerja, Perbanyak Bercinta
Salah satu buruh dari SINDIKASI berdemo di May Day. (dok Ellena Ekarahendy/@Yellohelle)

Suara.com - Demo buruh memperingati May Day 2017 dihiasi berbagai poster tuntutan, mulai dari upah layah sampai kesejahteraan. Ada yang berbeda jika mengintip aksi demonstrasi dari kelompok buruh media dan industri kreatif. Mereka membuka situasi kerja mereka selama ini.

Koordinator Presidium Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif (SINDIKASI) Ellena Ekarahendy bercerita, bekerja lembur dan tidak dapat upah tambahan adalah hal bisa dan membudaya di sektor industri kreatif. Wajarnya, mereka bekerja 8 jam sehari. Tapi bisa molor karena pekerjaan sampai 12 jam.

“Itu kayaknya sudah jadi hal ‘wajar’, kerja lebih dari 8 jam per hari,” kata Ellena saat berbincang dengan suara.com, Senin (1/5/2017).

“Nggak jarang juga yang sampai subuh kalau lagi ada deadline yang tenggatnya parah atau dipercepat,” lanjut dia.

Salah satu sindiran situasi pekerja media dan industri kreatif adalah kurangnya waktu untuk pribadi. ‘Curhat’ itu ditulis dalam poster mereka, “Kurangi Jam Kerja, Perbanyak Bercinta”.

Ellena mengatakan sindiran itu bukan main-main. Sindiran itu, untuk mengartikan kondisi bekerja di industri kreatif dan media tidak adil. Ellena bekerja sebagai desainer di sebuah perusahaan kreatif di Jakarta Pusat. Bekerja lembur tak dibayar sudah biasa dia lakoni.

Kondisi kerja seperti itu membuat beberapa temannya mengalami tekanan mental. Mereka bekerja dalam tekanan mental.

“Cuma kapitalsime industri kreatif yang bikin kita memeras emosi demi kerja, sampai akhirnya kita hilang sensitivitas emosional sampai rumah. Tanpa waktu untuk afeksi, teman, dan pasangan tingkat stres malah akan makin terepresi. Lagi pula, kita berhak punya 8 jam berekreasi!” kata Ellena.

Makanya, kata dia, sindiran “Kurangi Jam Kerja, Perbanyak Bercinta” untuk pekerja media dan industri kreatif bukan candaan. Kata ‘bercinta’ itu punya arti luas, kata Ellena. Salah satunya mempunyai waktu untuk keluarga dan teman.

“Emang kebutuhn afeksi itu penting? Ya penting. Coba tanya aja teman-teman kalian pekerja industri kreatif: berapa kali tahan stres dalam sebulan. Jangan sama pacar (itu pun kalau berkesempatan punya), sama teman saja susah. Apalagi sama keluarga. Kapitalisme mengalienasi manusia!” papar Ellena.

Menurut Ellena sudah saatnya pekerja media dan industri kreatif bergabung untuk menyikapi persoalan itu.

“Agustus ini akan Kongres Sindikasi dan pencatatan resmi ke Disnaker DKI Jakarta. Sambil menuju ke sana kami akan ada riset soal kondisi kerja, edukasi kawan-kawan pekerja, dan pengawalan isu tentang barcode media dan K3 dalam industri kreatif,” tutup dia.

Jadi tulang punggung, tapi kesejahteraan buruh minim

Sindikasi mencatat kontribusi industri kreatif bagi negara dilihat cukup signifikan dan berpotensi terus meningkat di masa depan. Berdasarkan survei Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2015, industri kreatif menyumbangkan Rp 852 triliun atau 7,38 persen terhadap Produk Domestik Bruto nasional, nilai ekspor 19,4 miliar dolar AS (12,88 persen), dengan menyerap 15,9 juta tenaga kerja (13,90 persen).

Namun demikian, para pekerja yang menjadi roda penggerak dari industri ini justru memiliki setumpuk masalah ketenagakerjaan yang relatif tidak pernah diangkat ke permukaan. Misalnya, masih dalam sensus yang sama, 31,9 persen pekerja kreatif menghabiskan lebih dari 48 jam kerja tiap pekan atau lebih tinggi dari batas 40 jam tiap pekan seperti dalam Undang-undang Ketenagakerjaan.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI