Suara.com - Presiden Filipina Rodrigo Duterte kembali mendapat kecaman, setelah mengancam membombardir sekolah-sekolah milik masyarakat adat Lumad.
Duterte, seperti diberitakan The Guardian, Rabu (26/7/2017), mengeluarkan ancaman tersebut karena menuduh sekolah-sekolah itu mengajarkan siswanya untuk mendukung dan bergabung dengan Partai Komunis Filipina (PKF) maupun sayap militernya, Tentara Rakyat Baru Filipina (New People's Army Philippine; NPA).
"Aku katakan kepada seluruh warga adat Lumad, keluarkanlah anak-anak kalian dari sekolah itu sekarang juga. Jika tidak, aku akan mengebom kalian berikut sekolah-sekolah itu," tegas Duterte dalam pidato yang disiarkan secara langsung oleh televisi nasional, Senin (24/7).
Duterte menuduh sekolah-sekolah yang dibangun secara swadaya oleh masyarakat adat Lumad tersebut didirikan secara ilegal.
"Dewan guru di sekolah-sekolah itu juga mengajarkan siswanya untuk memberontak melawan pemerintah. Mereka mengajarkan agar siswa bergabung dengan komunis," tudingnya.
Ancaman Duterter itu kontan mendapat kecaman dari beragam organisasi hak asasi manusia internasional maupun partai-partai oposan Filipina.
Human Rights Watch (HRW), lembaga pemantau HAM internasional, mendesak Duterte mengurungkan niatnya tersebut.
"Berdasarkan hukum humanitarian internasional, pemerintah maupun pihak yang bertikai tidak boleh mengebom infrastuktur sipil termasuk sekolah," demikian pernyataan resmi HRW.
Baca Juga: Hari Ini, Nasib APBNP 2017 dan Perppu Data Nasabah Ditentukan
Anggota Fraksi Partai Perempuan Gabriela di parlemen Filipina, Emmi de Jesus, memaksa Duterte menarik kembali ancamannya tersebut.
"Duterte menggunakan retorika anti-komunis untuk menindas masyarakat adat dan suku bangsa minoritas di Filipina. Kaum komunis bisa memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi mereka, seharusnya itu menjadi kritik bagi presiden untuk berpihak kepada rakyat," tegas Emmi.
Ancaman Duterte tersebut merupakan provokasi terbaru setelah NPA menyergap rombongan pengawal presiden di selatan Filipina, pekan lalu.
Serangan NPA tersebut dilakukan karena Duterte hendak memperluas pemberlakukan darurat militer. Tadinya, darurat militer hanya diterapkan di Kota Marawi, Mindanao, yang dikuasai gerombolan teroris Maute.
Namun, setelah gerombolan teroris yang berafiliasi dengan ISIS itu sudah kehilangan kontrol atas Marawi, Duterte justru tidak mau mencabut kebijakan darurat militer.
Sebaliknya, Duterte menginginkan seluruh wilayah di selatan Filipina diterapkan darurat militer. Padahal, di daerah tersebut terdapat basis perlawanan non-ISIS, semisal PKF/NPA, Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF), maupun Front Pembebasan Islam Moro (MILF).