"Untuk mencapai pulau seluas sekitar 12 kilometer persegi dengan ikon patung Dewi Kwan Im itu, pengunjung menumpang kapal ferry dari Pelabuhan Wugongzhi menuju Pelabuhan Putuoshan dengan jarak tempuh sekitar 10 menit," kata pengamat budaya dan bahasa Indonesia Prof Cai Jincheng MA.
Ketika mendampingi kunjungan awak media dari Bali ke Tiongkok (2-11 Mei 2018), mantan Ketua Pusat Studi Indonesia di Universitas Guangdong, China, itu menjelaskan pulau dengan sekitar 43 kuil itu juga memiliki "cerita rakyat" yang menarik orang untuk berkunjung.
Cerita rakyat yang terpatri dalam sebuah ukiran batu di dinding Kuil Dewi Kwan Im serta batu bertuliskan huruf Tiongkok di depan kuil yang sama itu mengisahkan seorang biksu dari Jepang dan India yang percaya kepada Dewi Kwan Im.
Pulau Putuo dihuni sekitar 1.000 biksu dan sekitar 10 ribu orang penduduk lokal serta pendatang yang bekerja di restoran, hotel dan menjadi pedagang, sehingga pulau itu juga menarik bagi wisatawan tua dan muda.
Lain halnya di Provinsi Fujian, sejumlah bangunan bersejarah di Pulau Gulangyu, Kota Xiamen, Provinsi Fujian yang pernah menjadi jajahan dari 5-8 negara juga ditata menarik bagi wisatawan tua-muda.
Bahkan, salah satu pulau yang bila dikelilingi hanya seluas 1,8 kilometer persegi itu juga menjadi objek foto "pra-wedding" bagi pasangan muda Tiongkok yang akan menikah.
Gulangyu adalah salah satu dari tempat pertama masuknya warga asing di era kolonial. Pulau ini juga dikenal pula sebagai Pulau Musik, karena warga Filipina di zaman itu membawa alat musik, terutama piano. Tahun 2000, museum piano dibangun di pulau itu.
Jejak warga asing di pulau yang juga disebut Kulangsu (deburan ombak) itu tampak dari desain bangunan yang berarsitektur Victoria.
Paduan sejarah dengan sentuhan modern untuk tempat berlibur orang kaya di Tiongkok serta sajian kuliner dan cenderamata khas menjadikan Gulangyu dikunjungi 50.000-an wisatawan/hari.
Nuansa sejarah yang dipadukan dengan konsep wisata modern serta sentuhan religi itu membuktikan masyarakat Tiongkok juga tidak sedikit yang taat beragama, meski ada juga yang abangan atau bahkan tidak beragama.
"Bahkan, jejak kedatangan utusan Nabi Muhammad SAW ke Tiongkok pada kurun 618-626 Masehi itu menunjukkan Islam datang lebih dulu ke Tiongkok daripada Indonesia, bahkan sebagian penyebar Islam di Indonesia juga berasal dari Tiongkok," kata pengamat budaya/bahasa Indonesia Prof Gunawan, nama Indonesia dari Prof Cai Jincheng. (Antara)