Dunia yang Hancur, Titik Temu Nasib Anak Korban Bom Bali dan Putra Eks ISIS

Selasa, 18 Februari 2020 | 16:16 WIB
Dunia yang Hancur, Titik Temu Nasib Anak Korban Bom Bali dan Putra Eks ISIS

Suara.com - Mereka tak saling kenal, tidak pula sekali pun pernah bersamuh. Namun, kisah seorang anak teroris dan putra korban serangan teror justru bertemu di satu titik: hancurnya kehidupan.

SEJUMLAH anak asal Indonesia hidup terlunta-lunta tanpa tahu arah,setelah orang tua mereka meninggal dalam perperangan di Suriah. Mereka anak-anak yang orang tuanya berstatus WNI tapi bergabung dengan kelompok teroris ISIS.

Quentin Sommerville, jurnalis BBC, menemui tiga anak Indonesia di kamp Al-Hol, Suriah Timur Laut. Seorang anak yang mengaku bernama Yusuf tak tahu harus ikut siapa lagi.

Orang tua dan saudara-saudaranya yang tergabung dalam pasukan ISIS meninggal dalam pertempuran. Bocah ini hanya bisa pasrah di sana.

"Saya tak tahu mau ke mana. Saya akan bertahan di sini," kata Yusuf kepada BBC seperti dikutip Suara.com.

11 Potensi Ancaman WNI eks ISIS, Diabaikan Jadi Liar, Dipulangkan Bisa Kambuh. (Suara.com/Iqbal Asaputro)
11 Potensi Ancaman WNI eks ISIS, Diabaikan Jadi Liar, Dipulangkan Bisa Kambuh. (Suara.com/Iqbal Asaputro)

Anak Indonesia lainnya, Faruk, kehilangan orang tuanya ketika desa terakhir yang dikuasai kelompok ISIS, Baghouz, diserang koalisi anti-ISIS.

Ia terpisah dengan keluarganya dan tak tahu apakah orang tuanya masih hidup atau sudah meninggal setelah Baghuz dibombardir.

Sebuah peristiwa dahsyat yang tak pernah terbayangkan olehnya. Ia melihat dan mengalami langsung serangan roket yang membuat orang-orang kelompok ISIS berhamburan berlarian menyelamatkan diri, sebagian di antaranya terluka dan tewas.

"Terjadi serangan roket. Saya tak tahu [apa yang harus saya lakukan]. Saya berlari dan setelah itu saya tak pernah melihat lagi keluarga saya," kata Faruk.

Baca Juga: Mahfud MD: Cabut Status WNI eks ISIS Tak Perlu Lewat Pengadilan

Kisah yang sama juga diungkapkan Nasa, bocah Indonesia yang berada di kamp Baghouz. Ia menyaksikan sendiri serangan bom dari udara ke Desa tempat pertahanan kelompok ISIS.

"Pesawat menjatuhkan bom...orang-orang hilang, lalu saya menemukan Faruk," ujar Nasa.

Sementara pemerintah tengah mendata para WNI eks ISIS yang berada di Suriah. Bagi WNI eks ISIS tidak akan dipulangkan, terkecuali anak-anak.

Di bawah 10 tahun boleh pulang

MENTERI Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, anak-anak WNI di bawah umur eks ISIS bisa dipulangkan ke Indonesia, dengan pertimbangan tertentu.

"Anak-anak di bawah 10 tahun akan dipertimbangkan, tapi case by case. Artinya lihat apakah anak itu di sana ada orang tuanya atau tidak, anak yatim piatu yang orang tuanya tidak ada," kata Mahfud MD di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Selasa pekan lalu.

Pengamat terorisme mengatakan anak-anak WNI eks ISIS di Suriah tidak akan menjadi risiko jika dipulangkan, apalagi jika mereka dibina oleh pemerintah.

Peneliti Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) Sidney Jones mengimbau pemerintah untuk memulangkan anak-anak yatim piatu dari kamp-kamp di Suriah secara bertahap.

Nada Fedulla, WNI eks ISIS ingin pulang ke Indonesia (twitter/@bbcindonesia)
Nada Fedulla, WNI eks ISIS ingin pulang ke Indonesia (twitter/@bbcindonesia)

Hal itu penting karena di sana anak-anak menyaksikan intimidasi dan kekerasan. Selain itu, kamp pengungsian tersebut tidak layak dari segi kesehatan juga sanitasi.

Menurutnya Pemerintah Indonesia tak perlu berpikir panjang untuk mengembalikan ratusan anak sekaligus, tapi mulai dari kelompok kecil seperti tiga hingga lima anak terlebih dahulu.

Menurut Sidney Pemerintah Indonesia sudah harus mulai membuka komunikasi dengan pihak Kurdi yang menguasai kamp-kamp pengungsian guna mendata anak-anak Indonesia.

Kemudian mereka dijemput untuk dibawa ke tanah air dan dilakukan pembinaan.

Lebih bahaya kalau tak dipulangkan

SIDNEY menambahkan, anak-anak WNI di Suriah bisa lebih bahaya jika tidak segera dipulangkan. Sebab mereka berpotensi menjadi generasi kedua mujahid ISIS.

Tak menutup kemungkinan mereka berkolaborasi dengan anak-anak teroris dari negara lain di kamp itu untuk melakukan gerakan terorisme di masa mendatang.

Khairul Ghazali, mantan pelaku terorisme mengatakan anak-anak yang dibawa orang tuanya untuk ke Suriah adalah korban.

Khairul kini mengasuh sebuah pondok pesantren untuk deradikalisasi anak-anak teroris di Medan, Sumatera Utara.

"Korban itu bukan hanya yang kena serpihan bom, tapi anak-anak pelaku teroris. Mereka korban ideologi yang salah dan sesat dari orang tuanya," ujarnya.

Menurut dia, anak-anak itu bisa sangat berbahaya jika tidak dipulangkan ke Indonesia.

"Kalau enggak dikembalikan malah lebih bahaya, mereka akan bergabung dengan tokoh-tokoh teroris internasional. Mereka akan lebih ISIS daripada ISIS itu sendiri. Bahayanya lebih besar dari manfaatnya," ujarnya.

Khairul kecewa dengan putusan pemerintah yang tidak mau mengembalikan ratusan WNI eks ISIS dari Suriah dengan alasan keamanan.

Dia mengklaim, teroris bisa diubah pola pikirannya dengan program deradikalisasi. Ia merujuk sejumlah eks teroris yang kini membantu pemerintah, seperti Ali Fauzi dan Ali Imron.

Meski ada kasus-kasus di mana eks teroris kembali radikal, kata Khairul, hal itu tidak boleh digeneralisasi.

"Benar, ada satu atau dua orang yang yang dibina BNPT jadi bomber, seperti suami-istri yang (melakukan bom di) Filipina itu. Tapi itu nggak bisa digeneralisir," ujarnya, merujuk peristiwa pengeboman gereja di Filipina tahun 2019.

"Program deradikalisasi memang belum optimal, tugas kita lah menyempurnakannya," ujarnya.

***

DADANYA sesak menahan kemarahan, kesedihan, depresi dan trauma yang selama ini ia pendam. Ia terdiam sambil menyeka air matanya. Garil Arnandha, berdiri di salah satu sudut yang tak jauh dari monument peringatan Bom Bali 1 di Legian, Bali.

Kala itu 12 Oktober 2019, Geril untuk pertama kalinya hadir dalam peringatan 17 tahun Bom Bali 1. Pemuda itu datang melihat nama sang ayah di monument itu. Aris Munandar, nama sang ayah tertera nomor empat dari atas pada monument.

Aris tengah menunggu penumpang di depan Sari Club, saat bom dengan berat sekitar 1,1 ton meledak pada tahun 2002. Korban meninggal mencapai 202 orang dan ratusan orang lainnya luka-luka.

Aris termasuk 38 orang korban meninggal asal Indonesia, sementara yang terbanyak 88 orang dari Australia dan lainnya dari sejumlah negara termasuk 28 orang korban dari Inggris.

Saat serangan teroris terparah di Indonesia itu terjadi, Geril anak tertua Aris baru berusia 10 tahun. Anak kedua dan ketiganya masing-masing berumur lima tahun dan dua tahun, sementara ibu mereka tengah sakit tak berdaya.

Mengenang 13 tahun tragedi bom Bali I di Monumen Bom Bali, Legian, Kuta, Bali, Senin (12/10).
Mengenang 13 tahun tragedi bom Bali I di Monumen Bom Bali, Legian, Kuta, Bali, Senin (12/10).

Jenazah Aris ditemukan sehari setelah serangan teror, dan Geril ketika itu satu-satunya keluarga dekat yang melihat mayat sang ayah saat diturunkan dari mobil. Peristiwa itu membuat Geril trauma, depresi namun dipendam sendiri.

Pemuda 27 tahun itu teringat peristiwa 17 tahun silam. Bayangan jenazah sang ayah, salah seorang korban Bom Bali 1 yang diturunkan dari mobil jenazah, tetap masih ada walau tersamar.

"Wajah itu bukan bapak saya, sudah benar-benar hangus, persis seperti ayam bakar," cerita Garil mengenang peristiwa tersebut.

Batin yang 17 tahun terpendam

SELAMA 17 tahun terakhir, Garil selalu mengingat ayahnya di dalam kamar seorang diri setiap kali peringatan pada 12 Oktober. Selama ini ia tak pernah mau datang dalam peringatan di mobumen Legian, meski sang Ibu selalu mengajaknya.

"Saya takut emosi saya menggebu-gebu mengingat kejadian itu. Di dalam hati saya, masih tak percaya, apalagi kalau liat foto bapak tak kuat. Di antara adik-adik, saya yang paling ngrasain bersama bapak," tuturnya.

Pada 13 Oktober 2002, sekitar jam dua siang, jenazah Aris Munandar diturunkan dari mobil di depan kediaman keluarga di Denpasar.

Endang Isnanik, istri Aris yang tengah sakit, sempat mengintip. Namun keluarganya memegangnya dan melarang untuk melihat jenazah. Garil lah yang melihat secara jelas bersama kakek angkatnya.

"Saya hanya lihat posisinya lagi tidur di depan stir mobil. Seperti yang dia cerita pada malam saat berangkat dia mau minum obat sambil menunggu tamu, mungkin tertidur pulas waktu kejadian," ucapnya.

"Mayat didatangkan karena kondisi yang lengket, tak bisa dimandikan, hanya bisa ditayamun. Disalatkan di masjid, dikuburkan hari itu juga," kata Endang lagi.

Terpidana kasus terorisme Bom Bali, Ali Imron (Youtube Indonesia Lawyers Club)
Terpidana kasus terorisme Bom Bali, Ali Imron (Youtube Indonesia Lawyers Club)

Air matanya mengalir deras. Dua orang adik Garil masih belum mengerti apa yang terjadi dan bermain seperti biasa, kondisi yang membuat tamu-tamu melayat semakin tersedu.

Sementara sang ibu tengah menderita Remathoid Artistic, penyakit autoimun yang sering menyebabkannya tak bisa bangun karena nyeri pada sendi seluruh tubuh.

Saat kejadian, Sabtu malam 12 Oktober 2002, ayah Garil tengah menanti tamu di depan diskotek Sari Club yang penuh dengan tamu asing.

Hari-hari, bulan-bulan dan tahun-tahun berikutnya merupakan masa-masa terberat bagi keluarga Aris Munandar.

"Setiap berjalan ke sekolah, kelas di lantai atas, dan biasanya ada bapak sama mama datang," cerita Garil.

"Saya kalau ingat di sekolah, dibandingkan adik-adik, saya yang paling ingat bapak, anak pertama yang paling disayang."

"Kaya udah tak ada tujuan hidup, bingung tak tahu gimana. Sampai SMA pun, masih gak karuan. Melihat kondisi mama, saya seperti orang depresi."

Sabtu malam itu pada peringatan ke-17, Garil untuk pertama kalinya mengunjungi Ground Zero, tempat yang beberapa kali ia lewati.

Beberapa hari setelah peringatan ke-17 itu, Garil menyampaikan berbagai pertanyaan yang selama ini ia pendam kepada Ali Imron, pelaku Bom Bali 1.

Di satu ruangan di Polda Metro Jaya, Jakarta, tempat Ali Imron menjalani hukuman seumur hidup, Garil yang didampingi ibunya, langsung menyampaikan cerita dan pertanyaannya.

"Saya masih kecil, saya melihat bapak kandung saya dalam keadaan seperti itu…Hati saya hancur ketika itu. Tulang punggung keluarga saya, membesarkan saya, Bapak bisa bayangkan kalau Bapak jadi saya, dengan keadaan ibu tak bisa jalan, tak ada kerjaan. Adik masih bayi. Saya masih bocah."

"Kami tak punya tempat tinggal, bingung tinggal di mana, sampai saat ini, kami tak punya rumah, tinggal di sana sini, sekarang tinggal di kos-kosan… jujur dulu saya sangat kesal, dalam jiwa saya marah. Saya ingin semua tersangka dihukum mati, tak ada kecuali."

"Yang saya tak habis pikir, atas dasar apa pelaku ini melakukan seperti ini, yang katanya Islam, Islam mana yang membunuh saudaranya sendiri."

Ali Imron tertunduk mendengar pertanyaan dan pernyataan ini.

"Saya sedih ada pembunuh yang bilang dia Islam," tambah Garil lagi.

Ali Imron mulai menjawab dengan mengakui bahwa ia yang diminta oleh Imam Samudra, otak pengeboman untuk mencari sasaran.

"Saya yang disuruh survei di jalan Legian, karena Imam Samudra ingin meledakkan bom dan pilih diskotek yang paling banyak bulenya. Kami dapati Sari Club dan Paddy yang berseberang jalan," kata Ali.

"Saya ragu tapi kok mengikut. Jaringan kami Jemaah Islamiyah, ketika dapat perintah dari atasan harus taat melaksanakan. Dalam keyakinan kami, saya justru yang paling banyak terlibat," tambah Ali.

"Waktu saya mendengar suara bom, keraguan tetap ada. Begitu Amrozi ketangkap sebelum satu bulan, keyakinan saya bahwa jihad ini salah semakin besar," tambahnya lagi.

Kesalahan yang tidak bisa ditebus

"Kalau sampeyan cerita, sampeyan tersiksa tapi saya lebih tersiksa, kesalahan yang saya lakukan itu tidak bisa ditebus oleh apa pun. Saya sadar, dan saya yakin sampai sekarang. Ditebus apa pun tidak akan terbayar. Yang bisa saya lakukan hingga sekarang, setiap kesempatan, saya sampaikan permohonan maaf saya kepada korban, keluarga korban dan semuanya.

"Meskipun permohonan maaf saya kurang berharga atau saya tidak pernah dimaafkan, tapi saya bersyukur menjadi salah satu yang terlibat, saya mengaku bersalah dan saya mohon maaf," lanjut Ali.

Dua kakak Ali Imron, Amrozi serta Ali Gufron alias Mukhlas serta Imam Samudra dieksekusi pada November 2008. Ketiganya tidak menyampaikan dan menunjukkan penyesalan sampai dihukum mati.

Ali sendiri mengatakan sejak ia diperlihatkan foto-foto korban pengeboman dan meminta maaf kepada para korban, ia dicap pengkhianat dan dihalalkan darahnya oleh anggota kelompoknya ketika itu.

Meninggal dalam keadaan terzalimi

Dalam pertemuan dengan Garil dan ibunya, Ali berulang kali menyatakan permohonan maafnya.

Matanya beberapa kali berkaca-kaca dan kepalanya banyak tertunduk.

"Saya hanya bisa berdoa, almarhum diberi nikmat Allah di alam barzah, saya yakin, karena almarhum meninggal dalam keadaan terzalimi karena perbuatan kami... dalam hadis dikatakan barang siapa yang meninggal karena kezaliman maka mati syahid. Itu pun saya berdoa kepada korban yang lain saya berdoa secara umum."

Ibu Garil, Endang Isnanik yang lebih banyak mendengarkan dalam pertemuan yang berlangsung sekitar satu jam itu mengatakan tidak mengetahui anak sulungnya memendam perasaan yang begitu dalam.

"Setelah 17 tahun ini, saya tak tahu apa yang anak-anak rasakan, mereka sudah terbiasa melihat mamanya sakit, sudah terbiasa melihat mama tak bisa bangun," kata Endang, beberapa kali menyeka air matanya.

Pertemuan di Polda Metro Jaya, Jakarta ini berakhir mengharukan.

"Saya mohon maaf, saya hanya bisa mohon maaf, saya tak bisa apa-apa," kata Ali Imron kepada Garil dan ibunya.

"Terima kasih banyak, sampaikan juga ke adik-adik. Saya tak bisa apa-apa lagi. Saya merasa bersyukur karena saya diberi kesempatan oleh Allah untuk menyesal," tambahnya merangkul Garil. Mata Ali Imron berkaca-kaca.

Garil sendiri merasa lebih lega sudah bertemu dan menyampaikan unek-unek yang selama 17 tahun dipendam.

"Saya curahkan semua, yang penting sih dia sudah mengakui kesalahannya dan tobat yang benar-benar tobat hubungan dia dengan Allah. Saya merasakan ketulusan dia. Dia sudah minta maaf," tutup Garil.

Pemerintah Indonesia melalui Badan Nasional Penangggulangan Terorisme (BNPT) melakukan pertemuan antara mantan narapidana terorisme dan para korban pengeboman, sebagai salah satu langkah dalam program deradikalisasi.

Pertemuan semacam ini ditujukan untuk melunakkan hati dan pikiran para mantan napi teroris dan mencegah serangan kekerasan di kemudian hari. Ali Imron termasuk yang ikut terlibat aktif dalam program deradikalisasi ini.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI