Di Tepi Barat menetap tak kurang dari tiga juta warga Palestina dan hampir setengah juta warga Israel yang tinggal di sejumlah permukiman.
Saya menemui Mohammed Yehya, warga Desa Irtas.
Dari sini, terlihat di kejauhan rumah-rumah berderet rapi dengan atap berwarna oranye. Semua warga di sini paham, itu adalah rumah yang dibangun Israel bagi para pemukim Yahudi.
Saya bertanya ke Yehya tentang pernyataan PM Netanyahu yang ingin mencaplok sekitar 30% wilayah Tepi Barat.
Ia menjawab, "Tak ada maknanya sama sekali ... wilayah ini [semuanya] telah dicaplok. Sepenuhnya ada di tangan mereka."
Yehya menuturkan keluarganya telah berada di sini selama beberapa generasi.
Namun semuanya berubah setelah Israel membangun permukiman Efrat, yang terletak tak jauh dari tanah milik Yehya, pada 1980-an.
Sejak itu ia merasakan "cengkeraman" Israel yang makin kuat.
"Andai saja, saya menyusun 10 batu bata di sini, pihak berwenang Israel pasti akan datang dan menghancurkannya," kata Yehya.
Baca Juga: Lewat Aneksasi, Israel Ingin Kuasai Tanah Paling Subur di Palestina
"Israel menguasai tanah-tanah [di sini] dengan alasan ini adalah tanah negara ... dan pemerintah [Israel ingin] membantu para pemukim [Yahudi]," ujar Yehya.
Palestina batalkan 'seluruh perjanjian dengan Israel dan Amerika Serikat' terkait rencana pencaplokan Tepi Barat Parlemen Israel sahkan permukiman Yahudi di Tepi Barat Apakah isu permukiman Yahudi bisa diselesaikan dalam konflik Israel-Palestina?
Aneksasi sekitar 30% wilayah di Tepi Barat tercantum dalam rencana perdamaian Timur Tengah yang diusulkan Presiden Trump.
Berdasarkan usul ini, unsur negara Palestina di masa depan, antara lain adalah, 70% wilayah Tepi Barat.
Usulan lain yang diajukan Trump adalah, pembekuan selama empat tahun semua kegiatan pembangunan permukiman Yahudi di luar wilayah-wilayah yang dianeksasi oleh Israel.
Saya tanyakan ke Yehya apa pendapatnya tentang usul Trump ini.