Warga, kemungkinan besar akan enggan untuk berpartisipasi karena besarnya risiko penularan.
"Ikut hadir di bilik suara dengan protokol kesehatan sekalipun, tetap tidak mengurangi resiko dan ancaman kesehatan dan nyawa mereka," ucap Egy.
Maka itu, kata Egy, rendahnya partisipasi warga akan menurunkan kualitas dari pilkada itu sendiri, sekaligus mencerminkan terdapat permasalahan di balik prosesnya.
"Padahal, jalan untuk menunda pilkada sangat terbuka lebar," ungkap Egy.
Dalam penjelasan Pasal 201A ayat (3) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) no 2 tahun 2020 ikut menegaskan bahwa Pilkada dapat ditunda dan dijadwalkan kembali apabila pandemi Covid-19 belum berakhir.
Keputusan untuk tetap melaksanakan Pilkada juga menjadi janggal apabila melihat pemilihan kepala desa (pilkades) yang diputuskan untuk ditunda dengan alasan keselamatan warga, sementara pilkada tetap dijalankan.
"Kuat diduga terdapat kepentingan lain di balik keputusan tersebut. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pilkada merupakan ajang transaksi kepentingan bagi para cukong," kata Egy.
Apalagi, kata Egy, bahwa Menteri Koordinator Hukum dan HAM, Mahfud MD mensinyalir bahwa 92 persen calon kepala daerah disokong oleh para pengusaha. Mereka ini akan mendapatkan keuntungan ekonomi-politik berlipat-lipat saat calonnya menang dalam kontestasi pilkada.
Karenanya, ICW menilai bila Jokowi tetap memaksakan pilkada dilanjutkan, bisa dikatakanorang nomor satu di republik Indonesia ini mengabaikan keselamatan masyarakat.
Baca Juga: Bawaslu Kota Semarang Temukan 48 DPT Invalid, Mereka Masih Dibawah Umur
"Sebaliknya, Presiden Jokowi dapat dianggap lebih mendahulukan kepentingan politik dan kepentingan para bandar yang mungkin telah ‘membeli’ pilkada di depan," Egy.