Suara.com - Empat seniman di beberapa lokasi di Indonesia menempuh cara unik melakukan perubahan dalam mengatasi krisis sosial ekologi melalui kegiatan seni budaya. Mereka adalah Cokorda Sawitri di Bali, Slamet Diharjo di Banyuwangi, Jawa Timur, Mila Rosinta di Yogyakarta, dan Iqbal H. Saputra di Belitung, Provinsi Bangka Belitung.
Mereka berbagi cerita tentang kegiatan inspiratif dan perjuangan yang mereka lakukan pada webinar yang diadakan The Samdhana Institute dengan tema “Mengatasi krisis sosial ekologi melalui pendekatan seni budaya dan inklusi sosial” pada Senin kemarin.
Webinar kedua dari Serial CangKir KoPPI atau Berbincang dan Berpikir Kreatif Kelompok Perempuan dan Pemuda Inspiratif tersebut dibuka Direktur Jenderal Kebudayaan Kemdikbud Hilmar Farid.
Cokorda Sawitri atau Cok Sawitri adalah seniman, sastrawan, dan aktivis perempuan yang banyak memberikan dukungan terhadap pelestarian budaya Bali. Pendiri Forum Perempuan Mitra Kasih Bali pada 1997 dan Kelompok Tulus Ngayah Bali pada 1989 tersebut aktif menyuarakan penyelamatan lingkungan melalui kesenian di Bali, salah satunya menyelamatkan air.
“Orang lupa, salah satu hal yang membuat Bali akan collapse itu bukan pariwisata seperti sekarang, yang bikin collapse itu nanti air,” kata Cok Sawitri dalam keterangan pers yang diterima Suara.com, Selasa (1/12/2020).
Sayangnya, menurut Cok, di Bali orang tidak pernah membicarakan air. Ketika terjadi banjir seperti di Denpasar, kambing hitamnya justru sampah. Padahal program pengelolaan sampah sudah lama dilakukan pemerintah di sana.
“Sumur resapan di pantai itu rasanya sudah payau, pemerintah tidak mau riil melihat, kita punya cadangan air tanah hanya satu di Jembrana, banyak persoalan air,” ujarnya.
Di Kota Denpasar, kata Cok, pada 2010-an saja rumah tangga sudah memakai air kelas tiga atau kelas C dari sungai. Hal itu menjadi lucu karena air jenis itu yang dipakai masyarakat.
Menurutnya, krisis sosial ekologi sangat besar mempengaruhi caranya berkesenian dari dulu. Sebagai seniman ia memegang teguh sikap independen dan seni teaternya adalah melawan. Karena itu ia menyadari tidak akan mungkin mendapatkan tepuk tangan dari sikap kritisnya terkait kebijakan sosial ekologi.
Baca Juga: Seniman Wayang Uwuh: Berkarya dan Peduli Lingkungan di Tengah Pandemi
“Jika kita menjadi seniman yang kritis, maka kita siap melakukannya ‘di jalan sunyi’ yang jauh dari tepuk tangan meriah,” tuturnya.
Slamet Diharjo, seniman tari di Banyuwangi, Jawa Timur yang memilih menjadikan lahan sawah warisan dari ibunya menjadi sanggar seni, Sawah Art Space. Tempat itu digunakan lulusan Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya tersebut sebagai ruang belajar seni budaya bagi anak-anak dan pemuda kampung.
Slamet tumbuh di Desa Kemiren yang ditetapkan oleh Gubenur Jawa Timur sebagai Desa Wisata Adat Osing pada 1995. Desa tersebut dihuni masyarakat adat Banyuwangi, suku Osing.
Sebelum membuka Sawah Art Space mulanya ia terinspirasi dari sanggar lain di Banyuwangi, yaitu mengajar tari kepada anak-anak dengan membayar pendaftaran.
“Misalnya per anak itu Rp5 ribu, tapi di desa saya itu nggak bisa, nggak tercapai sampai Rp100 ribu, akhirnya saya sadar apa arti uang itu bagi saya,” katanya.
Akhirnya Syamsul memilih mendirikan Sawah Art Space yang semata-mata untuk membentuk komunitas seni dan mengajar anak-anak di desanya berkesenian dengan gratis. Ia beruntung ada sekitar 30 seniman di Banyuwangi yang bersedia ikut dengannya melakukan kesenian tanpa pamrih.