Farmaner mengatakan, dalam beberapa tahun terakhir, Myanmar telah diperintah oleh pemerintah sipil Suu Kyi.
Tetapi militer tetap memegang kendali atas kementerian dan pasukan keamanan yang paling penting.
"Tidak masuk akal bagi militer untuk melakukan ini, karena mereka mendapat banyak manfaat dari reformasi yang dilakukan dalam 10 tahun terakhir," katanya tentang kudeta.
Menurut Jonathan Head, koresponden BBC di Asia Tenggara, kudeta tersebut tampaknya merupakan pelanggaran nyata terhadap konstitusi yang dirancang oleh militer lebih dari satu dekade lalu.
John Sifton, direktur advokasi Asia untuk Human Rights Watch, mengatakan militer Myanmar tidak pernah tunduk pada pemerintahan sipil dan meminta negara lain untuk memberlakukan "sanksi ekonomi yang tegas dan terarah" pada kepemimpinan militer dan kepentingan ekonominya.
Kondisi memanas di Myanmar langsung memancing beragam komentar dari berbagai negara dan menuntut setiap pihak menghormati hasil pemilihan.
"Amerika Serikat menentang setiap upaya untuk mengubah hasil pemilu baru-baru ini atau menghalangi transisi demokrasi Myanmar, dan akan mengambil tindakan terhadap mereka yang bertanggung jawab jika langkah-langkah ini tidak dibatalkan." jelas juru bicara Gedung Putih Jen Psaki.
Pemerintah Australia mengatakan pihaknya "sangat prihatin" dan menyerukan pembebasan segera para pemimpin yang ditahan secara tidak sah.
Jepang juga ikut menanggapi dengan mengatakan sedang mengamati situasi dengan cermat, namun tidak memiliki rencana untuk memulangkan warga negara Jepang dari Myanmar.
Baca Juga: Menegangkan, Detik-detik Penangkapan Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi
Untuk diketahui, Myanmar, juga dikenal sebagai Burma, diperintah oleh junta militer hingga reformasi demokrasi dimulai pada tahun 2011.