Iton menjelaskan kunci pencapaian tersebut terletak pada pola komunikasi yang terbangun baik antara tenaga kesehatan dengan masyarakat Baduy, bahkan sebelum pandemi Covid-19 merebak. Begitu pandemi muncul, Iton menegaskan, masyarakat dan tenaga kesehatan di sekitar kawasan Baduy sudah siap menghadapinya.
“Kuncinya kita memaksimalkan penjelasan soal Covid-19. Meyakinkan mereka itu sulit ketimbang kita. Mereka lebih susah karena faktor pendidikan,” tuturnya.
“Susahnya adalah menjelaskan soal Covid-19 karena belum banyak yang paham. Ini penyakit internasional. Makanya kami lari ke kepala desa, supaya bisa bantu kasih pemahaman, selain juga ke para guide,” tambah Iton.
Pola komunikasi ini didukung pula dengan inisiatif masyarakat Baduy Luar sendiri yang memang sejak awal tak ingin terlambat merespons kemunculan Covid-19.
Itu dari sisi teknis. Dalam konteks pendekatan kepada warga adat yang lain, Jaro Saija mengaku terus melakukan sosialisasi secara intensif, menekankan betapa pentingnya menjaga diri dari pagebluk. Tak sekali ia mengalami penolakan dari warga yang tak percaya Covid-19. Akan tetapi, ia tak memaksakan kehendak, asalkan yang bersangkutan tak bikin orang-orang di sekitarnya terganggu.
“Kalau enggak ada pelanggaran, harus bisa mengayomi. Kecuali ada pelanggaran adat dan negara, maka harus ditegaskan. [Kalau] dibiarkan saja jadinya kurang ajar,” jawabnya.
Sinergitas antara aturan adat dan negara jadi barang penting ketika membicarakan penanggulangan wabah di Baduy Luar. Jaro Saija menjelaskan bahwa selama ini keduanya mampu berjalan beriringan, tanpa mengangkangi satu sama lain. Aturan negara diimplementasikan melalui pemberlakuan lockdown, sementara aturan adat wajahnya bisa dilihat dengan pikukuh.
Dalam adat Baduy, pikukuh kurang lebih punya fungsi sebagai pedoman hidup. Salah satu yang populer yakni: Gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang diruksak, berarti bahwa “gunung jangan diratakan, lingkungan jangan dirusak.” Sedangkan dalam konteks pandemi, pikukuh yang dipegang adalah bahwa setiap penyakit (sasalan) pasti ada obatnya.
“Kuncinya adalah bisa atau tidak bisa, percaya yang dipegang sama hati sendiri. Semua sakit ada obatnya. Sakit kepala, sakit perut, ada mantra-mantranya. Itu bisa dibeli. Pakai apa? Puasa,” Jaro Saija menjelaskan.
Baca Juga: Asal Usul Seba Baduy, Tradisi Ratusan Tahun Sejak Kesultanan Banten
Kesuksesan Baduy membendung Covid-19 masuk Kanekes ini berbanding terbalik dengan sejumlah masyarakat adat lainnya. Penelitian yang disusun Ahmed Goha dkk. berjudul “Indigenous People and the Covid-19 Pandemic: The Tip of an Iceberg of Social and Economic Inequities” menyebutkan bahwa infeksi Covid-19 telah menyerang komunitas adat di Brasil, Peru, AS, Kanada, sampai Australia.
Di New Mexico, ambil contoh, sebanyak 57 persen dari kasus Covid-19 dan 50 persen kematian muncul di masyarakat adat. Lalu di Brasil, penyebaran virus sampai pula di Manaus, ibu kota Amazonas, serta turut menyerang kelompok adat Yanomami.
Tingkat penularan virus di masyarakat adat empat kali lebih tinggi ketimbang populasi pada umumnya, masih mengutip penelitian Ahmed dkk. Ini tak terjadi dalam konteks Covid-19 belaka. Pada rentang 2009 hingga 2010, tatkala pandemi H1N1 menyerang, misalnya, masyarakat adat punya potensi tertular virus empat kali lebih tinggi dari penduduk biasa, selain juga risiko penyakit parah dan kematian yang sama tingginya—sekitar tiga hingga enam kali lipat.
Indonesia tak luput dari kemungkinan terburuk. Sekjen AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara), organisasi swadaya yang fokus pada isu masyarakat adat di Indonesia, membawahi sekitar 2.000-an lebih komunitas dengan total anggota sebanyak 17 juta individu, Rukka Sombolinggi, mengatakan pihaknya sudah mempersiapkan langkah mitigasi sejak pandemi muncul pertama kali di Indonesia.
“Sebelum pemerintah mengeluarkan kebijakan lockdown, AMAN sudah merespons lebih dulu dengan lockdown di wilayah adat. Pertama, [kami] sudah tahu waktu itu bukan situasi sembarangan. Kedua, masyarakat adat punya memori pandemi di masa lalu,” ujarnya kepada saya.
Bagi Rukka, memori masa lalu itu terjadi kala Flu Spanyol tiba di Indonesia. Di Toraja, tempat kelahirannya, Flu Spanyol membuat hampir sepertiga dari jumlah penduduk meninggal dunia. Mayat bergeletakan, sebagian besar dikubur tanpa prosesi adat sebagaimana mestinya. Kematian adalah kawan karib yang dijumpai sehari-hari.