"Setiap hari, semua keputusan yang saya buat harus bergantung pada suami dan mertua saya," katanya.
"Bila anak saya sakit dan saya ingin membawanya ke rumah sakit, namun mertua tidak setuju, maka saya tidak bisa berbuat apa-apa."
Sekarang di usianya yang ke-21 dan sedang mengandung anak ketiga, Mai mengaku tak lagi melihat adanya kegembiraan dalam bernyanyi.
Teknologi bisa membantu akhiri adat istiadat
Dalam laporan badan amal Plan International bulan ini, disebutkan hilangnya mata pencaharian selama pandemi telah menjadikan 13 juta anak perempuan berisiko menikah muda selama dekade mendatang.
Badan amal lainnya World Vision melaporkan COVID-19 telah mendorong lonjakan terbesar dalam pernikahan anak selama 25 tahun terakhir.
Menurut Susanne Legena, Direktur Plan International Australia, terjadi juga peningkatan praktek sunat perempuan dan kehamilan remaja selama periode ini.
Susanne mengatakan alasan yang paling umum adalah kemiskinan, persepsi yang berbeda dari anak perempuan di masyarakat tertentu dan putus sekolah, yang secara tradisional memainkan peran protektif.
"Orang sering berpikir pernikahan paksa anak-anak sebagai cara perlindungan bagi anak perempuan, menempatkan anak-anak ke keluarga yang akan merawatnya lebih baik daripada yang mereka mampu," katanya.
"Yang dipegang teguh dalam hal ini yaitu pandangan tentang peran dan kedudukan anak perempuan dan perempuan dalam budaya tersebut."