Mati Suri karena Digusur, Cerita Indekos jadi Ruang Kelas Bagi Anak-anak Miskin di Grogol

Rabu, 28 Juli 2021 | 11:30 WIB
Mati Suri karena Digusur, Cerita Indekos jadi Ruang Kelas Bagi Anak-anak Miskin di Grogol
Foto siswa Sekolah Sookses di kawasan Grogol, Jakarta Barat sebelum pandemi Covid-19. (Dok Sekolah Sookses)

Suara.com - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan jumlah anak putus sekolah meningkat pada masa pandemi Covid-19. Pada 6 Maret lalu, dilaporkan sejak Januari 2021 terdapat 34 siswa putus sekolah karena menunggak biaya SPP. Puluhan anak itu berasal dari keluarga miskin.   

Angka tersebut baru yang terhimpun KPAI, diprediksi jumlahnya bisa lebih. Sebab, merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS), dilaporkan pada 2020, 1 dari 1.000 siswa SD/sederajat putus sekolah. Kemudian, dari 1.000 siswa SMP/sederajat, 10 di antaranya putus sekolah. Terakhir, pada jenjang SMA/sederajat, 11 dari 1.000 siswa SMA/sederajat putus sekolah.

Meningkatnya angka anak putus sekolah, turut dibarengi dengan angka kemiskinan, masih dalam laporan BPS disebutkan pada Maret 2020 jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 26,42 juta. Angkanya meningkat menjadi 27,54 juta pada Maret 2021. 

Peningkatan jumlah anak sekolah dan kemiskinan terjadi selama pandemi Covid-19. Patut diduga, angka kemiskinan dan putus sekolah saling mempengaruhi satu sama lain. 

Sedih rasanya menyaksikan data tersebut, padahal pendidikan merupakan modal utama kemajuan suatu bangsa. Seperti yang diungkapkan Jurnalis Senior, Najwa Shihab, "Hanya pendidikan yang bisa menyelamatkan masa depan, tanpa pendidikan Indonesia tak mungkin bisa bertahan.” 

Di kawasan pinggiran Jakarta Barat tepatnya di Kelurahan Grogol berdiri kembali sebuah tempat pendidikan informal gratis, bernama 'Sekolah Sookses.’

Penampakan Sekolah Sookses, tempat belajar gratis untuk anak-anak miskin di kawasan Grogol, Jakbar. (Suara.com/Yaumal)
Penampakan Sekolah Sookses, bangunan indekos yang disulap jadi tempat selokah gratis untuk anak-anak miskin di kawasan Grogol, Jakbar. (Suara.com/Yaumal)

Terlahir kembali dari keresahan Naif Haqsan, tentang nasib pendidikan anak-anak yang berasal dari keluarga miskin atau prasejahtera yang serba kesulitan pada masa pandemi Covid-19

“Jadi sekarang pada masa pandemi ini, banyak mereka yang susah (orang tua siswa), ada yang pengangguran, ada yang meninggal karena Covid-19. Sudah tidak punya penghasilan karena Covid-19 dan mereka harus memikirkan sekolah anak-anaknya. Itu sulit, jadi mau tidak mau sekolah ini harus ada. Kami buka,” kata Naif Haqsan saat ditemui Suara.com, Selasa (27/6/2021) kemarin.  

Mati Suri Gara-gara Penggusuran

Baca Juga: Cuitan Mahfud MD Dinilai Kurang Tepat, Sosiolog: Tak Perlu Meromantisasi Pandemi

Beranjak dari persoalan itu, pada awal Juli 2021 Sekolah Sookses kembali dihidupkan, setelah sempat mati suri sejak 2016 karena tidak menemukan lokasi baru akibat penggusuran. Dua kamar sangat sederhana berukuran sekitar 3x5 di sebuah bangunan indekos di Jalan Dr Makalwe I Nomor 18, RT 13/RW 02, Grogol, disewa sebagai ruang kelas sementara. 

Karena kondisi dan situasi yang masih sangat terbatas, Sekolah Sookses hanya menerima murid untuk jenjang pendidikan Taman Kanak-Kanak dengan rentang usia tiga sampai 6 tahun. 

Naif Haqsan menjelaskan, jenjang pendidikan yang diprioritaskan masih untuk anak usia dini, karena pada umur 3-6 tahun merupakan fase ‘Golden Age,’ tahapan pertumbuhan dan perkembangan anak yang paling penting. 

Foto siswa Sekolah Sookses di kawasan Grogol, Jakarta Barat sebelum pandemi Covid-19. (Dok Sekolah Sookses)
Foto siswa Sekolah Sookses di kawasan Grogol, Jakarta Barat sebelum pandemi Covid-19. (Dok Sekolah Sookses)

Dengan memulai pendidikan sejak dini diharapkan mereka telah memiliki modal pengetahuan yang dapat bermanfaat secara jangka panjang. Pendidikan yang diberikan merupakan gabungan dari kurikulum nasional dan internasional. Sehingga para siswa yang berasal dari keluarga tidak mampu dapat mengenyam pendidikan seperti di taman kanak-kanak dengan biaya mahal.

“Jadi kami punya mimpi yang sangat besar, bagaimana anak-anak tidak punya privilege (hak istimewa) mereka bukan hanya asal sekolah, tapi bagaimana suatu hari nanti mereka bisa bersaing dengan siapa saja. Karena permasalahan yang kami lihat adalah di lingkungan ini banyak anak yang cerdas namun tidak mendapatkan tempat,” paparnya. 

Di samping itu, pendidikan sejak dini dilakukan juga sebagai bekal mereka saat memasuki Sekolah Dasar (SD). 

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI