Suara.com - World Food Programme yang berada di bawah naungan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), pernah mengingatkan Afrika bagian selatan soal kemungkinan situasi darurat iklim. Kekeringan bertahun-tahun dan kondisi ekonomi yang tidak menentu telah menimbulkan krisis kelaparan “dalam skala yang belum pernah kita saksikan sebelumnya”.
Bencana yang sama kemungkinan bisa pula terjadi di Asia.
Dalam webinar “Impacts of Climate Change on South Asian Monsoon” yang diselenggarakan Comsats Center for Climate and Sustainability pada Agustus 2020, para ahli menyebut, aliran kelembaban udara semakin sulit diperkirakan, padahal inilah yang mendatangkan 70 persen hujan di suatu kawasan.
Pemanasan suhu Bumi diperkirakan bakal mempengaruhi pasokan air di dunia pada abad-abad mendatang, tapi akibat yang ditimbulkan itu tak merata. Ratusan juta orang akan mengalami kelangkaan air yang baru terjadi atau yang bertambah buruk pada 2100.
Bahkan pemanasan dua derajat Celcius saja disebut bakal menyulitkan 485 juta orang. Kalau kenaikan suhunya lima derajat, maka akan ada 785 juta orang yang terpapar kondisi kekurangan air, 605 juta di antaranya berada di Asia, Afrika, dan Amerika Latin.
Bencana Bakal Meningkat di Seluruh Dunia
Intergovernmental Panel on Climate Change berekspektasi, bencana yang sebagian besar berkaitan dengan air, bakal meningkat di seluruh dunia. Mereka yang paling miskin, yang sebetulnya berkontribusi sangat sedikit dalam gelombang pertambahan emisi gas rumah kaca, penyebab perubahan iklim, adalah pihak yang paling terpukul.
Di Indonesia, sejauh ini belum ada riset mendalam yang fokus kepada perubahan iklim dan dampaknya terhadap ketersediaan air. Meski demikian, dengan rata-rata hujan tahunan yang telah menurun dalam 80 tahun terakhir, dua ekstrem dari krisis air ini mengkonfrontasi Indonesia, karena menyebabkan permukaan laut naik, banjir parah di beberapa daerah, dan musim kering yang masanya semakin panjang.
Pada tahun 2019, paling tidak ada 11 provinsi yang mengalaminya, beberapa kabupaten bahkan sempat menyatakan keadaan darurat. Memang, tidak setiap anomali cuaca terjadi semata-mata karena perubahan iklim, tapi perubahan iklim meningkatkan intensitas dan frekuensinya.
Ketersediaan air secara nasional berpeluang menghadapi kesukaran. Fakta bahwa Indonesia termasuk negara yang kaya air, dan jumlahnya cukup untuk keperluan menyediakan air minum bagi penduduknya, hanya akan bertahan sebagai pengetahuan atau romantisasi belaka, karena bukan saja pendistribusiannya ke semua pulau berpenghuni sulit dilakukan, melainkan juga dalam kenyataannya, tekanan terhadap ketersediaan dan keamanannya bertambah besar.
Secara ringkas, bisa dikatakan bahwa perubahan atau krisis iklim adalah juga krisis air.
Situasi dunia yang semakin tak pasti menuntut tindakan yang tak biasa, sehingga perlu langkah pengurangan emisi secara radikal, bahkan ambisius, serta kebijakan yang menjadikan masyarakat lebih ulet, dan berdaya untuk bangkit di tengah krisis. Tindakan-tindakan ini dibutuhkan agar konsekuensi dari situasi yang ada dapat dikelola.
Sehubungan dengan itu, Indonesia terikat dengan komitmennya kepada Paris Agreement, yang telah diratifikasi pada 22 April 2016. Paris Agreement merupakan ikrar bersama negara- negara di dunia untuk menahan kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2 derajat Celcius. Dalam perjanjian ini, Indonesia menetapkan pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen pada 2030, atau 41 persen dengan dukungan dunia internasional.
Baca Juga: PBB: Lebih dari 5 Miliar Orang Kekurangan Air Pada 2050
Dalam praktiknya, berdasarkan apa yang disebut kewajiban penurunan emisi secara spesifik yang disusun sendiri oleh negara yang bersangkutan, arah berbagai kebijakan pemerintah justru tidak menimbulkan keyakinan bahwa Indonesia berada di jalur yang benar. Keraguan khususnya berlaku untuk sektor energi. Perihal isu ini bisa disimak, misalnya, dalam kajian ICEL (Indonesian Center for Environmental Law) berjudul “Refleksi Singkat Arah Kebijakan Perubahan Iklim Indonesia” yang dipublikasikan pada Desember 2020.
Hal itulah yang juga mesti menjadi landasan dalam menghadapi masa pasca Pamsimas. Adanya perubahan iklim, secara umum, akibatnya tidaklah terlalu ekstrem untuk wilayah perdesaan, tetapi cukup berpengaruh untuk di perkotaan.
Yang menjadi masalah adalah bagaimana, jika cuacanya berubah karena perubahan iklim, hal ini bisa menyebabkan mata air kecil di satu desa yang dulu ada menjadi hilang. Hal lain yang tak bisa diabaikan begitu saja adalah langkah-langkah mengupayakan pencarian sumber air baru dan menjaga yang sudah ada, serta memastikannya bisa lestari.

Tersedianya sumber air tentu saja bukan satu-satunya hal terpenting. Tantangan terbesar, bahkan sejak Pamsimas dimulai, adalah komitmen daerah, kabupaten dan, terutama, desa. Lebih spesifik adalah komitmen pemimpinnya, mengingat di banyak daerah dinamika politik yang ada sangat berpotensi mengubah prioritas dalam pembangunan desa. Komitmen itu merupakan keniscayaan karena Pamsimas, berbasis masyarakat.
Oleh sebab itulah tidak bisa dihindarkan perlunya langkah-langkah untuk membangun komitmen. Jika masalahnya adalah dana, ada sumber-sumber selain dari Pamsimas yang bisa digunakan, misalnya dana alokasi khusus (DAK). Banyak sumber dana dalam kategori ini yang fokusnya adalah penyediaan air minum, dan semua dikelola pemerintah daerah.
Pemberian kepercayaan kepada masyarakat akan lebih mendidik dan memberi semangat bagi pemerintah daerah, ketimbang pemerintah pusat atau pemerintah provinsi yang berinisiatif membangun sarana dan prasarananya lalu menyerahkannya kepada pemerintah daerah. Yang demikian ini, tidak akan menimbulkan sense of belonging, rasa memiliki, dan tidak ada akuntabilitas.