Perbudakan Modern: Pengakuan Pekerja Migran yang Dieksploitasi di Australia

SiswantoABC Suara.Com
Minggu, 19 Desember 2021 | 15:32 WIB
Perbudakan Modern: Pengakuan Pekerja Migran yang Dieksploitasi di Australia
Ilustrasi pekerja (pixabay/lukasbieri).

Perjanjian itu juga menyebutkan mereka bekerja tanpa upah selama enam bulan, tapi Maddy mengatakan kondisi ini berjalan selama hampir dua tahun.

"Mereka memanipulasi kami," kata Maddy. 

"Kita diberikan janji manis, dan diberitahu [oleh agen dan majikan] untuk bertahan lebih lama, tidak berbicara, dan kita akan dapat 'permanent residency'."

Awalnya Maddy merasa semua warga di Australia bekerja seperti dirinya, yakni sering bekerja lembur dan tidak dibayar.

Maddy mengatakan saat ia mencoba mengangkat masalah ini pada agennya atau manajernya, mereka akan melakukan perubahan yang sangat kecil, seperti memperbolehkan ia libur kerja dua hari seminggu.

Tapi seiring waktu, masalah yang mendasar terus muncul, bahkan lebih buruk. Mereka mengancam akan membeberkan bagaimana ia bekerja sehingga ia bisa dideportasi.

Karena mereka sadar jika proses sponsor visa ini ilegal, Maddy jadi takut untuk melaporkannya atau menceritakan kepada siapa pun karena takut ditangkap atau bahkan dideportasi.

Maddy seringkali menangis sendirian di malam hari, merasa tidak ada jalan keluar, diselimuti rasa malu untuk menceritakan pada keluarga dan teman-temannya di China.

"China berada di bawah pimpinan satu orang, dan seharusnya Australia berada di bawah aturan hukum, tapi saya tak menyangka akan mengalami hal seperti ini," ujarnya.

Baca Juga: Ramai Dukungan untuk Sandiaga, Legislator Gerindra Bicara soal Eksploitasi Identitas Ulama

Berharap untuk bisa mendapatkan status 'permanent resident' (PR) dalam beberapa tahun ke depan, Maddy dan suaminya mencoba bertahan dengan tabungan mereka dan saling memberikan dukungan moril satu sama lain.

"Semakin banyak yang kita lakukan, kita semakin merasa tidak mau gagal."

"Jadi kita bertahan, tidak berani untuk bicara, [berharap] mencapai mimpi kami tinggal di Australia."

"Tak ada yang tahu kami kerja tanpa dibayar, majikan kami yang punya kekuatan untuk memutuskan nasib kami, bukan Pemerintah Australia."

Tapi dalam dua tahun terakhir, selama pandemi COVID-19, semakin sulit bagi Maddy dan James untuk mewujudkan mimpinya.

"Kita kehilangan uang, harapan, kesehatan, dan bahkan kita tak bisa kembali ke China," ujarnya. 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI